fbpx

0
0
0
s2sdefault

IMG 20230504 WA0025

"Dukun Ahmad Suradji membunuh 42 perempuan selama sembilan tahun. Mati di tangan regu eksekusi."

Pada malam yang sunyi, tepat pukul 22.00 WIB, terdengar letusan dari perkebunan karet di Kecamatan Galang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut). Kilatan cahaya terlihat dari balik rimbun pepohonan. Suara letusan dan kilatan cahaya itu ternyata berasal dari senapan milik tim eksekutor personel Satuan Brigade Mobil (Brimob) Polda Sumut yang menyalak.

Dari 12 senapan yang dipegang oleh 12 eksekutor, hanya tiga yang berisi peluru tajam dan tidak ada satu pun dari mereka yang mengetahuinya. Tiga butir pelor melesat mengenai sasaran berjarak 10 meter dengan kecepatan 900 meter per detik, menembus dada kiri seorang laki-laki yang matanya tertutup dan kaki-tangannya diikat di pohon.

Dukun Ahmad Suradji di persidangan
Foto : Istimewa.

Laki-laki yang dieksekusi mati malam itu adalah Ahmad Suradji, warga Desa Sei Semayang, Kecamatan Sunggal, Deli Serdang. Suradji, yang saat itu berusia 59 tahun, merupakan terpidana mati kasus pembunuhan 42 perempuan di Sumut. Dia menghabisi korban-korbannya itu dengan dalih menambah kesaktian ilmunya. Selain petani, Suradji dikenal sebagai dukun. Kawan dan tetangganya sering memanggilnya Nasib Klewang karena Suradji sering menenteng golok saat bertani.

Ada permintaan terakhir AS, yakni bertemu dengan istrinya dan itu sudah dipenuhi.”

Suradji dieksekusi mati setelah Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menolak pengajuan grasinya bersama terpidana mati lainnya pada 22 November 2007. Perjalanan hidup Dukun AS, begitu semua media massa kala itu menjulukinya, berakhir. Ia membunuh 42 korban selama sembilan tahun sepanjang 1986 hingga 1997.

Dari hasil penyelidikan polisi, semua korban merupakan pasien yang datang ke rumah Suradji di Dusun Aman Damai. Semua perempuan itu ingin mendapatkan ilmu pengasihan atau penglaris dari Suradji. Ia meminta setiap kliennya yang datang membawa kembang telon, kemenyan putih, kemenyan arab (buhur), dan sepasang jeruk purut.

Syarat lainnya, harus bersedia diikat dan dikubur setengah badan di tempat yang sunyi pada malam hari. Syarat lainnya, pasien tak boleh memberitahukan ritual itu kepada orang lain. Korban pertama Suradji adalah perempuan bernama Tukiyem alias Iyem. Korban datang ke rumah Suradji pada Desember 1986 pukul 18.00 WIB.

Iyem ingin mendapatkan kesuksesan hidup dari Suradji. Setelah Iyem mengutarakan maksudnya, dukun itu mengajaknya ke area perkebunan tebu Sei Semayang, yang berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Saat keluar, Suradji membawa cangkul, tali, dan karung. Sedangkan Iyem membuntutinya di belakang.

Langkah mereka terhenti setelah menemukan lokasi yang cocok untuk ritual ilmu pengasihan itu. Suradji meminta Iyem memegang senter untuk menerangi tanah yang bakal digalinya. Suradji menggali lubang sedalam 1 meter. Panjang lubang sekitar 1 meter dan lebar 70 cm. Karena biasa mencangkul, tak butuh lama bagi Suradji untuk membuat lubang seukuran itu.

Suradji lalu meminta Iyem masuk ke lubang. Kedua kaki dan tangan Iyem diikat tali sambil berdiri. Setelah itu, Suradji naik, lalu menguruk lagi lubang dengan tanah. Tubuh Iyem terkubur mulai kaki hingga dadanya. Sejurus kemudian, Suradji jongkok di hadapan Iyem.

Suradji menyandarkan kepala Tukiyem di atas paha kakinya. Tiba-tiba, tangan kiri Suradji menutup mulut dan hidung wanita itu. Sedangkan tangan kanannya mencekik leher Iyem. Praktis, korban tak bisa berontak karena hampir seluruh badannya sudah terkubur di dalam tanah. Dalam hitungan menit, nyawa Iyem pun melayang, meninggal seketika di tempat itu.

Peti jenasah dukun Ahmad Suradji setelah dieksekusi
Foto : Khairul/Detikcom Medan

Suradji melakukan ritual lain dengan air liur korban yang sudah tidak bisa bergerak. Setelah itu, tubuh korban diangkat kembali. Ia membuka ikatan tali di kaki dan tangan Iyem, membuka seluruh pakaiannya hingga telanjang. Lalu Suradji menguburkan kembali korbannya di tempat itu juga. Esok paginya, Suradji beraktivitas seperti biasa, bertani. Seolah-olah tak ada kejadian apa pun. Ia bergaul seperti biasa dengan tetangganya.

Motif dan pola pembunuhan yang sama dilakukan Suradji terhadap korban-korban berikutnya. Korban kedua Suradji bernama Yusniar alias Niar, yang dibunuh pada sekitar Maret 1987. Korban ketiga adalah seorang perempuan bernama Tomblok sekitar 1988. Lalu korban lainnya di antaranya adalah Rusmina alias Popi (Agustus 1989), Diduk dan Rusmiani alias Anis korban (Juni 1992), Sulianti alias Yanti (Juni 1992), Irdayanti (28 Oktober 1992), Sadiem (17 Desember 1992), dam Kunyil (Januari 1993). Seluruhnya diketahui ada 42 perempuan yang telah dibunuh secara keji oleh Suradji.

Korban terakhir Suradji bernama Sri Kemala Dewi, yang dibunuh pada 23 April 1997. Dari kasus inilah kebiadabannya terbongkar. Empat hari setelah pembunuhan, warga Dusun Aman Damai dibuat geger ketika seorang pemuda menemukan mayat tanpa busana di ladang tebu. Mereka terkejut ternyata mayat itu adalah Dewi, yang dikabarkan menghilang tiga hari sebelumnya.

Polsek Sunggal pun menurunkan tim untuk menyelidikinya. Awalnya polisi mencurigai Tumin, mantan suami Dewi, karena keduanya sering bertengkar. Tapi polisi tak cukup banyak bukti. Pada satu kesempatan, polisi mendapatkan secercah petunjuk baru. Seorang warga bernama Andreas mengaku sempat mengantarkan Dewi ke rumah Suradji untuk berkonsultasi sebelum dikabarkan hilang.

Polisi kemudian mendatangi rumah Suradji. Pria itu mengakui Dewi memang pernah datang ke rumahnya. Namun, selepas Magrib, Dewi pulang ke rumahnya sendiri. Karena tak cukup bukti, polisi menghentikan penyelidikan. Polisi mendalami sejumlah laporan orang hilang dalam beberapa tahun terakhir.

Ternyata, dari sekian banyak orang yang dilaporkan hilang itu, terdapat satu benang merah. Kebanyakan dari mereka merupakan pasien Suradji. Polisi pun lalu menggeledah rumah Suradji. Di sana ditemukan sejumlah pakaian dan perhiasan perempuan, salah satunya milik Dewi. Suradji beserta ketiga istrinya pun ditangkap, yaitu Tumini, Tuminah, dan Ngatiyah.

Rekonstruksi pembunuhan dukun Ahmad Suradji
Foto : dok. ANTV

Lewat proses interogasi yang panjang, akhirnya muncul pengakuan dari mulut Suradji. Dia mengaku membunuh Dewi. Polisi tidak berhenti di situ. Suradji didesak terus. Dari yang semula hanya mengaku membunuh Dewi, Suradji akhirnya mengaku telah membunuh 16 perempuan. Hingga kemudian ia mengaku lagi telah membunuh 42 wanita. Hal itu membuat polisi terperangah.

Perbuatan itu dilakukan dengan dalih untuk mendapatkan kesaktian. Pembunuhan berantai ini dilakukan dari 1986 hingga 1997. Bahkan Suradji mengaku menerima bisikan gaib untuk membunuh 72 perempuan. Istri tertua Suradji, yakni Tumini, ikut membantu perbuatan suaminya. Suradji dan Tumini akhirnya mendekam di penjara.

Kisah Suradji dan korban-korbannya itu ditulis dalam buku ‘The Bastard Legacy: Warisan Legendaris Para Bedebah’ karya Jonathan pada 2015. Juga majalah Intisari edisi Juli 2017 dengan judul ‘Demi Ilmu Sakti, Suradji Membunuh 42 Wanita di Ladang Tebu’.

Suradji disidangkan di Pengadilan Negeri Lubuk Pakam, Sumut, pada 22 Desember 1997. Masyarakat berbondong-bondong menonton jalannya sidang. Saking banyaknya pengunjung, pihak Pemda Deli Serdang menyiapkan tenda besar serta empat televisi monitor bagi pengunjung yang tak kebagian tempat duduk di ruang sidang. Sidang pun dijaga empat peleton polisi.

Dalam persidangan, Suradji menolak laporan berita acara pemeriksaan polisi. Dia membantah tudingan telah membunuh 42 wanita. Pengakuan bahwa dirinya telah membunuh 42 wanita disebabkan oleh paksaan selama proses interogasi. Tumini, yang bersekutu dengan Suradji, pun membantahnya. Semua tuduhan jaksa dianggap sebagai kebohongan besar.

Persidangan pun berlangsung alot dan dilakukan maraton. Hakim berkeyakinan lain. Hakim yang diketuai Haogoaro Harefa menjatuhkan putusan pada 27 April 1998 dan menghukum Suradji dengan hukuman mati. Putusan hakim di tingkat banding dan kasasi tidak mengubah hukuman mati dukun Suradji itu.

Sementara itu, Tumini divonis penjara seumur hidup. Suradji dan Tumini dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Tanjung Gusta, Medan. Suradji mengajukan permohonan grasi kepada Presiden Megawati Soekarnoputri pada Agustus 2004. Baru pada era SBY, permohonan itu dijawab dan ditolak.

Menjelang pelaksanaan hukuman mati, Suradji mengajukan permohonan terakhir ke pengadilan untuk bertemu dengan keluarganya, termasuk Tumini. “Ada permintaan terakhir AS, yakni bertemu dengan istrinya dan itu sudah dipenuhi,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung DB Nainggolan kepada wartawan di kantornya, Jakarta, 11 Juli 2008

Sumber: https://news.detik.com/x/detail/crimestory/20211118/Kisah-Pembunuh-Berantai-Dukun-Suradji/


0
0
0
s2sdefault

Add comment


Security code
Refresh