Hubungan Marga Sitindaon dengan Marga Sihombing Lumbantoruan Hutagurgur Datu Galapang.
Sitindaon News (zul abrum sitindaon) - Jika pada bagian Kelima kita sudah diceritakan tentang Marga Sitindaon sebagai keturunan dari Marga Naibaho, maka pada Bagian Keenam ini akan diceritakan hubungan Marga Sitindaon dengan Marga Sihombing Lumbantoruan Hutagurgur Datu Galapang.
Setelah Inarnaiborngin (ayah dari Sitindaon) mengetahui Si Boru Naitang di hukum oleh ayahnya (Naibaho) dan akhirnya mati tenggelam di danau membuat Inarnaiborngin menjadi takut dan bersembunyi di rumah bapaudanya Hutaparik.
Karena merasa kasihan, Hutaparikpun menyuruhnya untuk pergi lari ke daerah lain, maka Inarnaibornginpun meninggalkan Pangururan pergi ke Lintong Ni Huta, Humbang.
Di Lintong Ni Huta dia bertemu dengan Raja Raung Nabolon, marga Lumbantoruan, Sihombing.
Semasa remaja, Inarnaiborngin sudah belajar Ilmu Kesaktian (hadatuon), jadi sesampainya di Lintong Ni Huta, dia sudah menguasai ilmu kesaktian.
Di tempat yang baru tersebut, dia membuat penampilan layaknya seorang yang sakti.
Sebelumnya di Lintong Ni Huta sudah terjadi permusuhan antara kerajaan Raung Nabolon dengan marga Marbun, dimana anak Raung Nabolon yaitu Raja Namuningan ditangkap dan dibunuh oleh marga Marbun.
Raja Namuningan ini meninggalkan seorang istri dan seorang anak yang masih kecil.
Jadi, saat pertemuan Raung Nabolon dengan Inarnaiborngin, ditanyalah dia tentang ilmu kesaktian, apakah Inarnaiborngin mampu membalas kematian anaknya dengan menangkap anak Raja Marbun itu. "Kalau bisa kau lakukan itu, maka kau (Inarnaiborngin) akan ku angkat jadi anakku dan ku kawinkan kau dengan menantuku (parumaenku) secara adat resmi (hurajahon)", kata Raung Nabolon kepada Inarnaiborngin. Karena anaknya Raja Namuningan sudah meninggal di bunuh marga Marbun.
Inarnaiborngin pun menyanggupi permintaan Raung Nabolon, dia meminta agar mereka bersemedi mengadakan persembahan menyediakan seekor ayam (marmanuk diampang) dulu.
Sebelum di mulai bersemedi atau persembahan, malam harinya, Inarnaiborngin menancapkan tombak dari bambu mengelilingi kampung itu dan di siram dengan air sirih (aek ni napuran) yang warnanya merah seperti darah.
Kemudian dimulailah bersemedi sambil membaca mantra, dan tiba-tiba dia menarik dan diayunkan (disintak) ayam dari ampang itu, sambil berteriak: "Musuh!" kampung ini sudah di kepung musuh", katanya.
Mendengar itu, Raja Raung Nabolon menyuruh "Panglima" nya (Nabeguna) untuk memeriksa apa benar ada musuh. Setelah diperiksa ternyata tidak ada musuh, yang ada adalah bekas tombak (hujur) dan bekas air sirih atau bekas aek napuran di sekeliling kampung itu dan melaporkannya kepada Raja Raung Nabolon.
Tiba-tiba Inarnaiborngin menghentikan mengayunkan ayam itu dan meletakkannya di atas para-para atau galapang ni sopo.
Sejak itulah dia disebut "Datu Galapang".
Kemudian dia mengatakan " kalian bilang tidak ada musuh, maka biar aku yang menghadapinya" katanya.
Pergilah Datu Galapang naik kuda ke kampung Marbun, di depan pintu rumah Raja Marbun ada istri Raja Marbun dan anak perempuannya sedang mencari kutu (marsihutu-hutuan), di lewatinya mereka dan langsung masuk ke kamar tidur Raja Marbun, dan langsung dipenggal Inarnaiborngin (Datu Galapang) kepala Raja Marbun itu.
Kepala Raja Marbun itu dibawanya kepada Raja Raung Nabolon, katanya: "Raja, inilah kepala Raja Marbun itu, dan janji kita harus dilaksanakan" katanya.
" Iya, betul" kata Raja Raung Nabolon, "tapi belum puas hatiku, sebelum dapat kepala anak Raja Marbun itu" kata Raja Raung Nabolon.
"Kalau begitu, akan kuambil kepalanya" kata Inarnaiborngin, dan berangkatlah dia lagi ke kampung Marbun, dan mencari anaknya kemudian memenggal kepalanya dan membawanya ke hadapan Raja Raung Nabolon.
Melihat itu puaslah hatinya dan percaya bahwa ilmu hadatuon ni Inarnaiborngin masih lebih tinggi dari ilmu anaknya Datu Parulas.
Kemudian janji Raung Nabolon pun dilaksanakan, diberikanlah parumaennya (istri anaknya Raja Namuningan) kepada Inarnaiborngin dan diberi juga "Mas Panjaean" serta perkampungan berbatasan Lintong Ni Huta sampai perbatasan Siborong-borong, yang kemudian disebut "Tano Galapang" dan diangkat sebagai Raja di daerah itu.
Dalam acara itu dibuatlah perjanjian yang tidak boleh dilanggar, jika dilanggar akan berakibat buruk kepada yang melanggar.
Perjanjiannya adalah: " Sejak saat itu Inarnaiborngin (Datu Galapang) harus menjadi "Sihombing Lumbantoruan" dan tidak boleh kembali menjadi "Naibaho", jika dilanggar maka anak keturunannya akan dikutuk.
Sejak itulah, muncul perumpamaan:
"Ansimun so bolaon
Hotang-hotang so dohonon
Naniida sitongka paboa-boan
Nabinoto sitongka padohon-dohonon".
Artinya yang kita lihat jangan diberitahu dan yang kita ketahui juga jangan diberitahu ke orang lain.
Mamungka sian i jadi raja lah Inarnaiborngin (Datu Galapang).
Setelah itu kemudian lahirlah anak dari istrinya itu dan diberi nama "Sitindaon - Lumbantoruan" karena mengingat anaknya yang di asuh oleh bapaudanya Hutaparik Naibaho, yaitu "Tindaon"
Demikianlah hubungan antara Marga Sitindaon keturunan/anak dari Si Boru Naitang dan Inarnaiborngin dengan Sihombing Lumbantoruan.
Jadi hubungan persaudaraan Marga Sitindaon adalah dengan Marga Sihombing Lumbantoruan Hutagurgur, secara khusus keturunan Sihombing Lumbantoruan keturunan Datu Galapang.
Catatan redaksi : Ada juga dijumpai sekarang ini marga "Sitindaon Sihombing", mereka dari Sihombing Lumbantoruan Hariara dari garis keturunan Sariburaja dan mereka tidak ada hubungan secara langsung dengan Datu Galapang yang telah menjadi Sihombing Lumbantoruan Hutagurgur dan tidak ada hubungannya dengan Marga Sitindaon yang berasal dari marga Naibaho.
Berlanjut Bedah BUKU TAROMBO Marga SITINDAON (Bagian Ketujuh)
Sitindaon News (zul abrum sitindaon)