UPAYA MENJATUHKAN JOKOWI
Demonstrasi, berunjuk rasa, mengungkapkan hak-hak berdemokrasi, haruslah dibedakan dengan upaya menciptakan kerusuhan. Sekali pun tentu hak-hak demokrasi, dalam persepsi dan perspektif masing-masing pihak, bisa memunculkan kerusuhan (dalam konteks diinginkan atau dihindari). Bahkan lebih jauh lagi, situasi chaostic, instabilitas sosial, politik, dan ekonomi. Apalagi jika tujuan dari berunjuk rasa, memang adalah upaya (untuk menciptakan) itu. Dengan ujung pergantian pucuk kepemimpinan atau presiden.
Belum lama lalu, kita bisa melihat di media sosial youtube, secara verbal Sri Bintang Pamungkas mengajak masyarakat melakukan desakan agar Jokowi mundur, dan mencegah pelantikannya sebagai Presiden Terpilih 2019-2024. Ia mengajak rakyat ‘harus ada persiapan’ untuk menjatuhkan Jokowi. Apa alasan Sri Bintang? Karena Jokowi dituding telah melakukan perbuatan makar, dan agar tidak terlambat sampai dilantik tanggal 20 (Oktober 2019, saya kutip dari berita kompasdotcom, 04/09).
Siapa yang makar? Menurut UU yang diputuskan DPR-RI, KPU (Komisi Pemilihan Umum) adalah penyelenggara antara lain Pilpres. Dalam keputusannya, KPU telah menetapkan hasil Pilpres 2019 adalah Joko Widodo - Ma’ruf Amin untuk periode 2019 – 2024. Keputusan ini bahkan dikuatkan keputusan MK (Mahkamah Konstitusi).
Keputusan kedua lembaga negara itu, sah berdasar hukum positif negara yang dianut Republik Indonesia. Jadi, siapa yang makar? Sri Bintang atau Jokowi? Apakah Sri Bintang lebih hebat dibanding 54,50% suara yang memilih Jokowi? Yang artinya 85.607.362 rakyat Indonesia? Apakah kita memilih bodoh, sebagaimana dilakukan Sri Bintang, sekiranya ia paham azas demokrasi? Karena demokrasi adalah juga soal kesepakatan atas hukum dan perundang-undangan yang mengikatnya.
Upaya penjatuhan Jokowi, sebenarnya juga bisa dilihat pada momen-momen seperti unjuk rasa atas keputusan KPU, dan dalam sidang gugatan hasil Pilpres di MK beberapa waktu lalu. Bukan lagi pada soal hasil Pilpres, tapi isu kemudian dialihkan pada kekerasan negara (tentara dan polisi) dalam menghadapi unjuk rasa. Beberapa anggota DPR yang berada dalam posisi oposan, turut memanasi situasi, dengan pendapat mereka yang bias dan tendensius. Tidak menempatkan diri secara proporsional, sebagai bagian dari lembaga negara yang mestinya berada di atas kepentingan pihak-pihak yang berkonflik (berbeda pendapat). Bukannya justeru menjadi partisan.
Kasus Papua yang diawali kerusuhan di Asrama Mahasiswa Papua Surabaya, sepertinya menjadi ajang kedua dalam hal menggoyang Jokowi. Persoalannya bukan lagi soal persekusi, tetapi sudah ditarik ke isu lebih sensitive, yakni rasisme dan radikalisme. Isu referendum ditempelkan bukan hanya dari OPM dan simpatisannya. Tetapi justeru muncul dari Rizieq Shihab, yang menyerukan mengganti Jokowi daripada Papua lepas dari NKRI.
Fadli Zon, Wakil Ketua DPR-RI, bahkan menantang Jokowi berkantor di Papua, karena walau sering ke sana sampai perlu naik sepeda motor trail, pun ternyata rakyat Papua tak menerimanya. Zon menilai ada yang salah di situ. Sementara Zon tidak mau berkomentar, mengenai caleg Gerindra yang menjadi tersangka provokasi atas kasus Papua itu. Sama persis dengan Komnas HAM, yang juga tak bersuara atas matinya seorang tentara terkena panah di jidatnya, ketika menjalankan tugas negara di Papua dalam menjaga keamanan di situ. Telalu naif kerusuhan di Papua karena factor seperti dikatakan Zon.
Adilkah Anda sejak dalam pikiran? Atas nama demokrasi, kita melihat elite nasional kita, sama sekali kehilangan kematangannya, kebijaksanaannya. Sekali pun mereka mengaku pintar sebagai orang yang makan bangku sekolahan. Patrap demokrasi yang hanya melihat sebuah kasus secara parsial, menunjukkan mereka sebagai manusia generic dengan pendapat-pendapat generic pula. Mereka menganggap diri pejuang demokrasi, tetapi yang dilakukan adalah tindakan-tindakan pseudo-democracy. Demokrasi yang lamis, juga amis.
Seorang anak indigo, mengajak dan mengingatkan kita, agar entah dengan cara apa, menjaga keamanan dan kebahagiaan hati, menjelang dan pada 20 Oktober 2019. Karena potensi kerusuhan yang sama, juga bisa diledakkan. Siapa saja yang akan melakukan? Tentu pihak-pihak yang tidak cinta Jokowi, meski mengaku cinta Indonesia, terutama pada kekayaan SDA dan SDM-nya yang melimpah untuk dieksploitasi, dan khususnya kesempatan korupsi-kolusi-nepotisme yang makin menipis sejak jaman Jokowi. | @sunardianwirodono
Sumber: KataKita on FB https://www.facebook.com/803774136380640/posts/2607990105959025/