Menurut Kotjo, dirinya tak memahami hukum. Dia kemudian berdalih kalau memang uang itu ditujukan sebagai suap maka tak akan dicatat oleh anak buahnya.

"Kalau beri bantuan ke orang akan berpotensi masalah hukum atau disebut korupsi dengan hal inilah bantuan yang saya berikan bu Eni selalu dicatat dengan baik oleh sekretaris saya. Kalau memang untuk tujuan tertentu tentu tidak akan dicatat normal, membantu seseorang adalah hal yang lumrah dan bisa saja," tutur Kotjo.

Dia kemudian menyebut alasan dirinya membutuhkan bantuan Eni agar perusahaannya mendapatkan proyek PLTU Riau-1. Salah satunya karena tidak punya kenalan di PLN. 

"Kenapa butuh dibuka jalur? Karena saya tidak kenal di PLN, kalau jalur normal pasti panjang dan berbelit saya sebagai wirausaha butuh rasa sungkan terhadap legislator, tentu dalam batas wajar maka saya tidak kepikiran untuk memberikan apresiasi apa," kata Kotjo.


Dia pun mengaku bakal menerima vonis yang dijatuhkan oleh majelis hakim. Menurutnya, dia tak akan mengajukan banding atas vonis tersebut.

"Kalau memang saya dianggap bersalah, saya menerima dan menyesalinya, saya berusaha menyampaikan keterangan sebenar-benarnya dan apa adanya. Terakhir apapun keputusan yang kelak dijatuhkan majelis hakim saya akan menerimanya dan tidak mengajukan banding," ucap Kotjo.

Sebelumnya, Kotjo dituntut 4 tahun penjara dan denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan terkait kasus suap PLTU Riau-1. Kotjo diyakini jaksa bersalah menyuap Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham sebesar Rp 4,7 miliar.

"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini, menyatakan terdakwa Johanes B Kotjo terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi," ujar jaksa KPK Ronald saat membacakan surat tuntutan dalam sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (26/11). (fai/haf)