Tidak Menyerah, Bu Sisca Naik Kasasi MA
"Mencari keadilan perlu stamina yang kuat bu Sisca. Dan terkadang lebih banyak hasilnya mengecewakan", balas saya menjawab chat bu Sisca beberapa hari lalu.
Saya sering mendampingi orang yang sedang mencari keadilan. Beragam kasusnya. Beragam juga cara mereka mencari keadilan itu.
Saya pernah mendengar dan mendapat laporan beberapa anak remaja disiksa oknum aparat. Berdarah2. Luka menganga. Babak belur. Wajah tak berbentuk. Hanya karena lirikan mata. Berimbas pengeroyokan. Kasus itu akhirnya selesai karena keluarga menerima itu sebagai takdir. Nrimo aja.
Ada juga kisah seorang kepala keluarga yang rumahnuya diambil tanpa sepengetahuannya. Rumah itu berpindah tangan hanya karena dia telat membayar cicilan 3 bulan. Dia marah. Lalu membuat status di fesbuk. Statusnya itu berujung dilaporkan oleh notaris yang membuat akte. Masuk penjara. Rumah hilang, orangnya masuk penjara. Sampai sekarang dia terus berjuang mencari keadilan. Entah bagaimana caranya.
Ada yang pasrah. Ada yang terus berjuang. Tidak mudah memang. Seperti Ibu Baiq Nuril. Hampir 3 tahun berjuang agar terbebas dari pidana penjara. Panjang sekali jalan yang harus dilaluinya. Seorang guru honorer. Perempuan. Orang kecil. Divonis penjara PN. Banding ke PT. Divonis bersalah. Kasasi ke MA. Divonis bersalah. Sekarang satu2nya hanya berharap pada Amnesti Presiden Jokowi.
Bayangkan betapa melelahkannya mencari keadilan itu. Lama sekali. Belum lagi habis waktu, energi, emosi dan materi. Inilah potret peradilan kita. Suka tidak suka harus kita terima ketika kita berhadapan dengan hukum.
Ibu Fransisca, seorang guru SD St Lukas Pademangan yang telah divonis tidak terbukti sebagai provokator, beberapa waktu lalu mengirim pesan pada saya. Pesan itu berisi ia akan mengajukan kasasi ke MA.
Saya tidak memberi pandangan hukum membalas pesannya itu. Bu Sisca sudah berdiskusi dengan lawyer Tigor Nainggolan secara matang dengan pertimbangan2 hukum. Saya tidak memberikan argumen mengapa memilih jalan kasasi.
Saya hanya memberikan pandangan bahwa mencari keadilan di republik ini tidak mudah. Perlu energi, stamina dan kecukupan emosi. Jika tidak kuat yang ada malah mengganggu kebahagiaan hidup kita. Ada amarah membuncah terjadi. Ujungnya fokus kita mencari kebahagiaan dalam bentuk lain terlupakan.
"Saya nggak menaruh harapan dalam perjuangan saya ini. Saya tidak lagi mencari keadilan. Tidak lagi mencari kebenaran. Karena keadilan dan kebenaran sangat relatif. Tidak ada ukuran yang pas. Saya hanya mengikuti proses saja. Seperti air mengalir. Saya hanya "alat" di tangan Sang Pencipta. Pasrah berserah mengikuti gerak-Nya", balas Bu Sisca.
"Yang saya yakini hanya satu. Kalau saya dipakai sebagai alat-Nya. Pasti Dia punya rencana besar. Bukan rencana untuk saya sendiri. Tapi rencana untuk banyak orang. Bisa jadi saya hanya jadi alat-Nya untuk menanam. Dan orang lain yang akan menuai hasilnya"
" Kalau saya menjalani semua perjuangan ini dengan tulus dan yakin, maka semua ini saya jalani tanpa beban. Saya jalani dengan enjoy. Nothing to loose ajah. Kalau pun saya terjatuh. Dia tak akan membiarkan saya terkapar. Dia pasti akan menopang saya. Seperti kalimat dalam lagu Bang Bir. Semua saya lakukan karena kasih. Kasih saya kepada Dia. Kasih saya kepada sesama", ujar Bu Sisca lagi.
Saya senang dengan pikiran Bu Sisca ini. Perjuangan mencari keadilan baginya bukan lagi soal menang kalah. Bukan lagi soal uang besar atau kecil. Perjuangan mencari keadilan baginya adalah caranya membuka jalan bagi kebaikan dan perubahan bagi kepentingan umum. Kepentingan banyak orang. Tentang apa itu nilai kejujuran, kebajikan, ketulusan dan perjuangan mencari keadilan.
Dan saya akan terus mendampinginya sekalipun hanya melalui tulisan ini.
Tetap semangat berjuang Bu Sisca
Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga
Sumber: https://www.facebook.com/1820404924838978/posts/2299867673559365/