fbpx

Article Index


Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula

Si Raja Batak, disebut-sebut oleh buku W.M. Hutagalung dan para penulis lainnya, sebagai nenek-moyang tunggal Bangso Batak yang memulai kampung awal di Sianjur Mulamula, kaki Pusuk Buhit, Samosir. Dalam bukunya “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), W.M. Hutagalung mengemukakan bahwa Si Raja Batak adalah nenek-moyang Bangso Batak, yang terdiri dari: Batak Toba, Batak Pakpak, Batak Karo, Batak Simalungun, dan Batak Mandailing. Dalam buku tersebut, W.M. Hutagalung menulis tarombo Batak yang dimulai dari Si Raja Batak dengan keturunannya mulai dari marga-marga Toba. Dan, marga-marga Toba ini bersambung dengan marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing, sehingga menempatkan Toba menjadi induknya, yaitu induk dari Bangso Batak. Jadi, marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing adalah keturunan dari marga-marga Toba, sehingga terlihat bahwa Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dibentuk oleh keturunan marga-marga Toba. Masa hidup Si Raja Batak sendiri disebutkan berdasarkan perhitungan dari Richard Sinaga, Batara Sangti Simanjuntak, Kondar Situmorang, Sarman P. Sagala, Ketut Wiradnyana, dan Prof. Dr. Uli Kozok berkisar dari 500 - 1.000 tahun lalu (Lihat: Edward Simanungkalit, BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK?, dalam Kompasiana, 20/01-2016).

Balai Arkeologi Medan, pada Juli 2013, telah melakukan penelitian “Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir” dengan melakukan kegiatan survey arkeologi dan ekskavasi di sana. Tinggalan megalitik yang dapat ditemukan di Samosir, yaitu: sarkofagus, tempayan batu, kubus batu, kubur pahat batu, tambak batu, batu dakon, menhir, patung-patung batu seperti patung pangulu balang, lesung batu, palungan batu, bottean, sakkal, gajah dari batu paha, parik (pagar batu), dan punden berundak. Tempayan batu seperti disebutkan tadi ada ditemukan di Sumatera Selatan yang berasal dari millenium kedua masehi. Rumah adat memiliki pola arsitektur rumah panggung melengkung yang merupakan ciri budaya Dong Son. Pola hias di rumah adat dalam bentuk berbagai macam binatang dan sulur-suluran yang dibuat dengan hiasan rumbai-rumbai seperti bulu-bulu yang panjang baik itu pada pahatan flora ataupun pahatan fauna mengingatkan akan hiasan model yang serupa pada benda-benda perunggu yang berasal dari Dong Son. Gambar cecak sebagai lambang kejujuran dan atau kebenaran bagi para pemimpin yang memimpin. Pada tradisi paleometalik Dong Son sangat umum dikenal motif-motif antara lain sulur-suluran, spiral atau pilin berganda, geometris berupa segi empat, bulatan, tumpal maupun belah ketupat dan motif-motif itu masih selalu hadir pada berbagai aspek tinggalan budaya Toba. Disimpulkan bahwa kelompok pendukung budaya Dong Son telah datang dari China Selatan melalui jalur timur menuju ke Taiwan, dari Taiwan terus ke Filipina dan dilanjutkan lagi ke Sulawesi dan seterusnya ke Sumatera melalui pesisir Timur hingga mencapai Samosir (Lihat: Wiradnyana & Setiawan,Jejak Peninggalan Tradisi Megalitik di Kabupaten Samosir, 2013). Selain dari yang telah disebutkan tadi bahwa ulos juga memiliki corak dari budaya Dong Son.

Kebudayaan Dong Son adalah kebudayaan zaman perunggu yang berkembang di lembah Song Hong, Vietnam dan secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok bahasa Austronesia yang terutama menetap di pesisir Annam. Kebudayaan ini sendiri mengambil nama situs Dong Son di Tanh Hoa dan berkembang antara abad ke-5 hingga abad ke-2 SM. Masyarakat Dong Son adalah masyarakat petani dan peternak yang handal serta terampil memancing. Mereka menetap dalam rumah-rumah panggung besar dengan atap yang melengkung lebar dan menjulur menaungi emperannya. Masyarakat Dong Son juga dikenal sebagai masyarakat pelaut, yang melayari seluruh Laut China hingga ke selatan dengan perahu panjang bercadik dua (wikipedia). Masyarakat Dong Son berasal dari ras Mongoloid. Kebudayaan Dong Son secara keseluruhan dapat dinyatakan sebagai hasil karya kelompok penutur Austronesia.

selanjutnya MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu Part 2


Add comment


Security code
Refresh