fbpx

sebelumnya MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu Part 2

 

Si Raja Batak, Sang Tokoh Mitos?

Menarik, N. Siahaan, BA. dalam bukunya “Sejarah Kebudayaan Batak” (1964) mengemukakan dengan kritis dan jernih sebagai berikut: “Berapa jumlah orang Batak dan kapan mereka tiba di sekitar gunung Pusuk Buhit tidak dapat dijawab (rasanya tidak mungkin hanya seorang, yakni Si Raja Batak dengan isterinya jadi nenek-moyang pertama). ... Mengenai riwayat Si Raja Batak, yakni leluhur bersama suku Batak, semata-mata masuk mitos. … Si Raja Batak sudah tokoh mitos, demikian juga Tatea Bulan dan Isumbaon. Tentang nama-nama yang lain kita terima saja mereka itu leluhur yang pernah hidup.” (1964:83,84,86). Tepat sekali pertanyaan kritis dan pernyataan kritis N. Siahaan tadi, bahwa tidak mungkin hanya seorang bersama isterinya menjadi nenek-moyang bersama dan itu semata-mata merupakan mitos. sehingga Si Raja Batak adalah tokoh mitos!


Di Humbang, mulai dari Silaban Rura hingga Siborong-borong telah ditemukan adanya aktivitas banyak manusia sekitar 6.500 tahun lalu. Dalam bukunya “Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, Peter Bellwood (2000:339) menulis: “Sebagai contoh, sebuah inti polen dari rawa Pea Simsim dekat Danau Toba di Sumatera bagian Utara menunjukkan bahwa pembukaan hutan kecil-kecilan mungkin sudah dimulai pada 4.500 Sebelum Masehi.”. Bellwood merujuk kepada hasil penelitian paleontologi oleh Bernard Kevin Maloney (1979) dari Universitas Hull, Inggris, di daerah Humbang, sebelah barat Danau Toba dan Bernard K. Maloney sendiri sudah menulis beberapa buku tentang hal ini. Penelitian paleontologi atas pembukaan hutan ini dilakukan pada 4 (empat) tempat, yaitu: di Pea Simsim, sebelah barat Nagasaribu, di Pea Bullock, dekat Silangit – Siborongborong, di Pea Sijajap, daerah Simamora Nabolak, dan di Tao Sipinggan, Silaban. Penelitian ini membuktikan bahwa telah ada aktivitas manusia sekitar 6.500 tahun lalu di Humbang ( www.anu.edu.au ; www.manoa.hawaii.edu ; www.manoa.hawaii.eduwww.lib.washington.edu). Fakta ini membuktikan bahwa lebih dulu ada banyak manusia di Humbang pada sekitar 6.500 tahun lalu dan Etnis Toba sekarang adalah keturunannya berdasarkan genetikanya. Dengan demikian, lebih tepat mengatakan bahwa Humbang sebagai kampung awal etnis Toba daripada Sianjur Mulamula, dan mereka inilah nenek-moyang Etnis Toba yang lebih awal, bukan Si Raja Batak dari Sianjur Mulamula dan sekaligus membuktikan bahwa Si Raja Batak tidak ada alias fiktif.

Selanjutnya, hasil penelitian para ahli genetika membuktikan juga bahwa populasi Toba memiliki Y-DNA Haplogroups: K-M526*, O-M95*, O-M110, O-P201*, O-P203, dan R-M124. Dengan demikian, keenam populasi tadi datang ke Negeri Toba dan bercampur membentuk sebuah populasi besar, yaitu populasi Toba. Kelima marka di awal datang pada masa pra-sejarah yang disusul R-M124 pada tahun masehi, sehingga bukan sepasang suami-isteri seperti Si Raja Batak dengan isterinya. Jelas, bahwa Si Raja Batak hanyalah tokoh fiktif yang tidak pernah ada di dalam sejarah.

Ada kesan bahwa pihak pembuat mitos dan tarombo tersebut adalah orang-orang pembaca Alkitab, sehingga pihak tersebut berimajinasi tentang Adam dan Hawa di Taman Eden dan menulis tarombo seperti tarombo Adam. Sekaligus berat dugaan bahwa turian-turian dan tarombo Batak tersebut bukan warisan nenek-moyang yang dibuat beratus-ratus tahun yang lalu, tetapi diciptakan belakangan oleh orang modern. Walaupun mungkin saja sudah ada cerita (turiturian) sebelumnya, tetapi tidak sedetail itu seperti halnya banyak mitologi tentang asal-usul dari suku-suku di daerah lain, sehingga ada dugaan cerita (turiturian) tersebut sudah mengalami modifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan pihak yang merupakan tokoh intelektualnya.


Tarombo Bangso Batak Berpusat pada Si Raja Batak

Dalam buku “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” (1926), W.M. Hutagalung menguraikan tarombo sebanyak 346 halaman. Tarombo yang berkaitan dengan Toba di dalam buku tersebut boleh dikatakan amburadul seperti tarombo penulis yaitu marga Simanungkalit. Kemudian berdasarkan tarombo Toba tersebut, maka W.M. Hutagalung menghubungkannya dengan marga-marga Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dan dengan berbagai cara seperti “jurus padomuhon langit dohot tano” dijadikanlah marga-marga keempat etnis tersebut menjadi keturunan marga-marga Toba. Akibatnya, selain menjadikan keturunan Si Raja Batak, maka marga-marga keempat etnis tadi juga menjadi keturunan marga-marga Toba seakan-akan tanah Pakpak, tanah Karo, tanah Simalungun, dan tanah Mandailing itu tanah kosong ketika Si Raja Batak sampai di Sianjur Mulamula. Dan, kemudian, sebagai tanah kosong, maka datanglah keturunan Si Raja Batak dari marga-marga Toba membentuk masyarakat Pakpak, masyarakat Karo, masyarakat Simalungun, dan masyarakat Mandailing. Inilah kesalahan fatal yang dilakukan pegawai Belanda bernama W.M. Hutagalung dalam menulis buku tersebut atau mungkin juga merupakan kesalahan fatal yang disengaja untuk tujuan tertentu sesuai “pesanan”. Terlihat jelas bahwa W.M. Hutagalung, sang asisten demang tersebut, adalah memenuhi pesanan majikannya, penjajah Belanda, dan penjajah Belanda juga memfasilitasi upaya penulisan buku tersebut serta memerintahkan penerbitannya. 

Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing bukanlah berasal dari Sianjur Mulamula dan ini sudah penulis kemukakan sebelumnya dalam tulisan berjudul “BENARKAH SI RAJA BATAK NENEK-MOYANG BANGSO BATAK DAN TOBA INDUK BANGSO BATAK? ” (Kompasiana, 20/01-2016). Hal ini dikuatkan lagi dengan bukti-bukti arkeologis di masing-masing tanah tersebut, sehingga semakin tampak jelas betapa tidak masuk akalnya tarombo yang disusun oleh W.M. Hutagalung tersebut. Tarombo “Batak” ini diturunkan oleh tokoh mitos bernama Si Raja Batak dan dihubungkan dengan 4 (empat) etnis lain yang berbeda dengan Orang Toba, sehingga semakin sulit diterima pikiran sehat bahkan dapat menyesatkan. Untuk membangun Tarombo “Bangso Batak” seperti itu, maka dapat diduga banyak menggunakan turiturian dan legenda yang tidak valid, karena dasarnya sudah bertentangan dengan fakta. Untuk itu, Tarombo “Bangso Batak” tersebut harus diuji validitasnya dengan tes DNA/penelitian genetika apalagi dengan adanya lembaga terpercaya sekarang ini yang memberikan jasa tes DNA dengan mengenakan tarif sebesar $ 99 USD per-orang.


Tarombo Bangso Batak sebagai Strategi Pembatakan

Mulai dari tokoh tunggal yang menjadi puncak tarombo sudah bermasalah ditambah dengan tarombo yang menghubungkan Si Raja Batak dengan Toba dan dengan Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing membuat semakin bermasalah. Pakpak, Karo, Simalungun, dan Mandailing dijadikan menjadi keturunan marga-marga Toba yang pada akhirnya berpuncak kepada Si Raja Batak yang menurunkan mereka semuanya. ‘Ypes mengatakan bahwa Dairi, Karo, Simalungun, Angkola Mandailing berasal dari suku Toba, demikian juga dialeknya’ (Siahaan & Pardede, 19..:15, 48). Seperti telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak terbukti tidak berasal dari Sianjur Mulamula, sehingga sama sekali bukan keturunan Si Raja Batak. Leluhur Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak lebih tua dari Si Raja Batak. Tarombo tersebut mempersatukan masyarakat non-Melayu tersebut menjadi sebuah etnis, yaitu Etnis Batak dengan sub-etnik: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak.

Membuat perbandingan antara Si Raja Batak dengan suku lain seperti Gayo akan memperlihatkan betapa terlalu cepatnya pertumbuhan keturunan Si Raja Batak, sehingga patut dipertanyakan kebenaran tarombo tersebut. Kemudian telah diperlihatkan betapa tidak masuk akalnya kalau hanya sepasang manusia yang datang bermigrasi ke Sianjur Mulamula, karena tidak masuk akal kalau hanya sepasang menjadi pendukung sebuah budaya seperti budaya Dong Son. Selain itu, Karo, Simalungun, Mandailing, dan Pakpak memiliki ciri budaya yang berbeda dengan Toba, apalagi Karo sudah dilakukan tes DNA di mana Y-DNA Haplogroup dari Karo yaitu: C-RPS4Y*, O-M95, O-M119, dan R-M173. Y-DNA dari Karo ini terbukti sama sekali bukan diturunkan oleh marga-marga Toba seperti dibuat dalam tarombo Si Raja Batak tadi (Lihat: Edward Simanungkalit, KARO DAN NIAS BUKAN KETURUNAN SI RAJA BATAK; INI BUKTINYA, dalam Kompasiana, 24/03-2016)

Tarombo dengan nenek-moyang tunggal Si Raja Batak memiliki keturunan Bangso Batak, yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak. Ini merupakan usaha mempersatukan seluruh masyarakat non-Melayu dalam satu nama “Batak” yang harus dibedakan dengan “Melayu”. Jelas, pelabelan ini seperti yang dikemukakan oleh beberapa pakar sebelumnya, yaitu: label Melayu dan label Batak. Pelabelan ini dikonstruksi oleh Belanda dan secara khusus di Toba turut juga dikonstruksi oleh misionaris Jerman. Si Raja Batak, yang tarombonya dibuat oleh Belanda melalui tangan W.M. Hutagalung sebagai pesanan Belanda, tampak sekarang merupakan upaya konstruksi nama “Batak” terhadap masyarakat non-Melayu. Tokoh mitos Si Raja Batak dibuat namanya dengan memakai kata “Batak”, jelas adalah buatan Belanda untuk keperluan konstruksi tersebut. Jadi, Si Raja Batak sebenarnya tidak ada dan itu hanya tokoh ciptaan Belanda dalam mengkonstruksi atau dalam rangka pembatakan masyarakat non-Melayu tersebut. Setelah misionaris Jerman dan kolonial Belanda berhasil mengkonstruksi Toba menjadi “Batak” yang dimulai sejak mereka berkiprah di Negeri Toba tahun 1862 dan kolonial Belanda ingin memperkokoh pembatakan tersebut dengan memerintahkan penerbitan buku W.M. Hutagalung (1926) dan buku K.W.H. Ypes (1932).

Sejak awal abad ke-20, sebelum buku W.M. Hutagalung diterbitkan pada tahun 1926, Belanda mulai menggerakkan orang-orang Toba dari Negeri Toba bermigrasi ke Tanah Simalungun. Migrasi ini sepenuhnya diback-up dan diarahkan oleh Belanda dan misionaris Jerman/RMG dengan diadakannya sebuah pos yang mengurusi migrasi ini di bawah pimpinan Andreas Simangunsong. Hingga terjadilah migrasi besar-besaran dari Negeri Toba ke hampir seluruh Tanah Simalungun. Hingga pada tahun 1920 saja di daerah ‘Ondeafdeling Simalungun’ sudah ada 21.832 jiwa orang Toba, dan 69.852 orang Simalungun. Antara tahun 1950-1956 hampir 250.000 orang Toba telah bermigrasi meninggalkan kampung halamannya. Demikian juga orang-orang Toba bermigrasi dari Negeri Toba ke Tanah Pakpak dan sebagian diteruskan hingga ke Tanah Alas. Menurut sensus tahun 1930 terdapat 1.789 orang Toba di Tanah Alas, sedang pada tahun 1934 sudah mencapai 3.500 orang Toba di Tanah Alas. Tahun 1954 orang Toba di Tanah Alas mencapai 14.790 jiwa. Tahun 1974 jumlah penduduk Tanah Alas sebanyak 91.303 jiwa terdiri dari orang Alas (45%), Toba (35%), sedang suku lain-lain berkisar 20% (O.H.S. Purba dan Elvis F. Purba, 1998:6-27). Migrasi yang berlangsung dari Negeri Toba ke Tanah Pakpak dan Tanah Simalungun ini tentulah juga menimbulkan banyak permasalahan bagi orang Pakpak dan orang Simalungun sebagai penduduk asli. Untuk masalah-masalah di Tanah Pakpak ini, Budi Agustono telah menulis desertasi berjudul: “Rekonstruksi Identitas Etnik: Sejarah Sosial Politik Orang Pakpak di Sumatera Utara 1958-2003” (2010). Sedang Pdt. Dr. Martin Lukito Sinaga juga banyak membahas tentang migrasi Orang Toba ke Tanah Simalungun di dalam bukunya: “Identitas Pos Kolonial ‘Gereja Suku’ dalam Masyarakat Sipil” (2004). Semua migrasi Toba ini diikuti oleh misionaris Jerman/RMG yang diikuti dengan mendirikan gereja-gereja bagi para migran ini. Di Dairi, penjajah Belanda menetapkan persyaratan bagi yang mau dilantik untuk menempati suatu jabatan haruslah dibaptis dulu sebelumnya dan mau menerima tarombo Bangso Batak, sehingga mulailah terjadi proses Tobanisasi.

Penciptaan sub-etnik yang dilakukan oleh antropolog kolonial Belanda yang dicopy Payung Bangun yaitu: Batak Toba, Batak Karo, Batak Simalungun, Batak Mandailing, dan Batak Pakpak tetap merupakan sisa-sisa ciptaan kolonial sekarang ini. Pembuatan sub-etnik tersebut justru mendukung tarombo yang disusun oleh Belanda melalui W.M. Hutagalung maupun Ypes. Meskipun yang dilakukan oleh para antropolog ini hanya berdasarkan budaya, tetapi akan melebur sub-etnik tersebut dan mempermudah proses pembatakan melalui tarombo tadi. Pembatakan dengan tarombo terbukti telah merusak marga-marga etnis di luar Toba tadi, karena disebut-sebut menjadi keturunan marga-marga Toba sementara Si Raja Bataknya hanyalah mitos, bahkan tidak pernah ada seperti yang diceritakan oleh W.M. Hutagalung. Akhirnya terjadilah pembatakan untuk menjadikan sebuah etnik “Batak” melalui proses Tobanisasi dengan meminjam istilah di dalam buku “Sejarah Etnis Simalungun”. Oleh karena itu, penulis menyatakan tetap lebih baik dengan hanya menyebut: Toba, Karo, Simalungun, Mandailing, Angkola, dan Pakpak seperti yang pernah disarankan oleh Van der Tuuk sebelumnya (Bandingkan juga: Edward Simanungkalit, HALAK TOBA – ORANG TOBA, dalam Kompasiana, 22/12-2016).

 

selanjutnya MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu Part 4


Add comment


Security code
Refresh