fbpx

sebelumnya MEMBONGKAR MITOS SI RAJA BATAK: Sebuah Strategi Belanda dalam Pembatakan Non-Melayu Part 3

 

Populasi Toba adalah Etnis Toba

Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa yang pertama melakukan konstruksi terhadap Toba ialah misionaris Jerman, sehingga Toba yang pada awalnya dijadikan ”Batak”. Tetapi, kemudian hari Belanda melakukan konstruksi lebih luas lagi hingga seluruh masyarakat non-Melayu di daratan Sumatera Utara dibatakkan atau dijadikan “Batak”. Kemudian istilah “Batak” tadi kemudian ditambah, sehingga menjadi “Batak Toba” yang dapat dilihat pada judul buku-buku yang ditulis oleh Johannes Warneck pada awal abad ke-20. Kata “Batak” merupakan hasil konstruksi misionaris Jerman ini dan mereka memberikan arti baru di dalam kata tersebut seperti dikatakan oleh Dr. Johannes Warneck, yaitu: “Penunggang kuda yang lincah.” Penulis merasa arti ini berlebihan, karena Toba tidak memiliki sejarah yang menonjol dengan kuda bila dibandingkan dengan Simalungun yang pernah memiliki pasukan berkuda yang hebat. Tuan Rondahaim, Raja Raya, memiliki pasukan berkuda yang sangat kuat di penghujung abad ke-19, sehingga tidak pernah dapat dikalahkan oleh Belanda sampai akhir hayatnya.


Si Raja Batak adalah tokoh mitos ciptaan Belanda yang tidak pernah ada secara fisik. Oleh karena tidak tepat menggunakan nama “Si Raja Batak”, maka lebih baik menyebutnya sebagai penghuni awal Sianjur Mulamula yang jumlahnya banyak. Penghuni awal Sianjur Mulamula ini juga bukanlah satu-satunya nenek-moyang Populasi Toba, karena penghuni awal Humbang sudah lebih dulu berdiam di sana sejak 6.500 tahun lalu. Selanjutnya, perlu kembali kepada masyarakat Toba masa lalu di dalam huta-horja-bius di mana Raja Singamangaraja sebagai primus interpares yang dibubarkan oleh Belanda pada tahun 1915. Huta dan horja dibangun oleh satu marga dan kemudian bergabung dengan horja lainnya membentuk bius. Di sinilah ada tarombo yang dimiliki oleh masing-masing marga di dalam huta dan horja tadi. Huta-horja-bius ini dibangun oleh beberapa marga dan marga-marga tersebut bekerja sama di dalam bius, sehingga tidak pernah ditemukan tarombo seperti yang disusun oleh Belanda melalui tangan W.M. Hutagalung (1926) maupun W.K.H. Ypes (1932), meskipun perbedaan tarombo yang ditulis kedua orang ini sangat mendasar perbedaannya. Kalaupun ada tarombo, maka tarombo itu adalah tarombo marga-marga/rumpun marga. Dengan demikian, maka istilah “Batak”, “Tano Batak”, “Si Raja Batak”, “Bangso Batak”, dan “Tarombo Bangso Batak” hanyalah ciptaan dan konstruksi misionaris Jerman dan Belanda. Sedang, buku: “PUSTAHA BATAK: Tarombo dohot Turiturian ni Bangso Batak” yang ditulis oleh W.M. Hutagalung (1926) hanyalah menjadi duri dalam daging sekarang ini. Akhirnya, sejarah harus ditulis ulang kembali! ***

_____________________________________


Catatan kaki:
K-M526*, yang muncul di Sundaland, adalah yang menurunkan O-M175 dan diperkirakan ke Yunan, Tiongkok Selatan. O-M175 memiliki sub-clade atau menurunkan: O-M95, O-M122, dan O-M119. O-M95 diasosiakan dengan Austroasiatik. Sedang turunan O-M122 antara lain O-P201. Turunan O-M119 adalah O-M110 dan O-P203. O-M110 diasosiakan Tai Kadai tetapi yang di Taiwan berbahasa Austronesia dan O-P203 diasosiakan Austronesia. O-M119 yang berada di sekitar Yunan diasosiakan Austronesia dan O-P201 yang berada di antara Yunan dengan Teluk Tonkin ditemukan berbahasa Austronesia. Selain O-M95 berbahasa Austroasiatik, yang berada di sekitar Yunan ada berbahasa Austronesia dan inilah kemungkinan proto-Austronesia, sedang yang di Taiwan berbahasa Austronesia. Jadi, pre-Austronesia atau proto-Austronesia berasal dari Asia Daratan, sedang dari Taiwan berasal Austronesia. Adapun R-M124 adalah sub-clade dari R dan R sendiri adalah keturunan dari K-M526*. R ditemukan di Asia Tengah, sedang R-M124 berasal dari India, di Asia Selatan. Dengan demikian, semuanya merupakan turunan dari Sundaland, sehingga penghuni awal Sianjur Mulamula yang berbahasa Austronesia dengan berbudaya Dongson itu bukan dari Israel di TimurTengah maupun dari Manchuria. Jurnal mengenai DNA di atas merupakan hasil penelitian dari 20-an orang professor doctor dari berbagai Negara yang melakukan penelitian di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Di dekat Teluk Tonkin, Vietnam pernah berkembang dua buah kebudayaan, yaitu: kebudayaan Hoabinh atau Hoabinhian (18.000-3.000 tahun lalu, menurut Belwood, 2000:238-241) dan kebudayaan Dongson (5.000-2.000 SM, Wikipedia). Hoabinhian ini ditemukan berbahasa Austroasiatik, sedang Dongson berbahasa Austronesia. Itu sebabnya diperkirakan bahwa Hoabinhian itu O-M95*. Orang Asli atau suku Semang di Malaysia sekarang berasal dari Hoabinhian yang berbahasa Austroasiatik. Kalau dilihat dari fisik, bahwa Orang Asli ini berkulit hitam. Sedang fosil Hoabinhian yang ditemukan di gua Loyang Mandale dekat Takengon, Gayo, berusia 7.400 tahun (belakangan ditemukan berusia 8.430 tahun) sebagaimana dilaporkan pimpinan tim arkeologi Balarmed di Gayo, Aceh Tengah, Ketut Wiradnyana di dalam bukunya, GAYO MERANGKAI IDENTITAS (2011). Fosil Hoabinhian dari gua Loyang Mendale ini telah dilakukan tes DNA oleh Eijkman Institute dan dihubungan dengan DNA dari 300 lebih siswa/i di Takengon pada tahun 2011, sehingga terbukti bahwa orang Gayo adalah keturunan dari fosil Hobinhian tersebut (Lihat juga: Ketut Wiradnyana, Indikasi Pembauran Budaya Hoabinh dan Austronesia di Pulau Sumatera Bagian Utara, 2011). Akitivitas pembukaan hutan kecil-kecilan 6.500 tahun lalu di Humbang, dari Silaban Rura hingga Silangit, Siborong-borong, yang ditemukan oleh Bernard K. Maloney (1979) besar kemungkinan dilakukan oleh Hoabinhian yang datang dari Gayo, Aceh Tengah ini. Itu sebabnya, sejak awal di tahun 2015 lalu, penulis berkesimpulan bahwa Hoabinhian dari Loyang Mandale inilah yang datang ke Humbang pada 6.500 tahun lalu, karena cocok dari segi waktu dan ciri-ciri lainnya.

Kebudayaan Dongson lebih maju daripada kebudayaan Hoanbinh (Hoabinhian), karena Dongson sudah merupakan budaya perunggu, sedang Hoabinhian masih merupakan budaya zaman batu akhir. Sementara situs-situs arkeologi yang ditemukan di Kabupaten Samosir merupakan hasil dari budaya Dongson dan kebudayaan Toba didominasi oleh budaya Dongson dengan berbahasa Austronesia. O-P201 yang berbahasa Austronesia berasal dari sekitar Dong Son di dekat Teluk Tonkin, Vietnam di mana daerah Dong Son ini berada di antara Yunan dengan Teluk Tonkin, Vietnam Utara. Jelas, bahwa penghuni awal Sianjur Mulamula bukan berasal dari Gayo, karena yang di Gayo adalah Hoabinhian. Memang ada juga ditemukan fosil Austronesia di Gayo, tetapi berasal dari masa yang lebih muda sebagaima dijelaskan oleh arkeolog Ketut Wiradnya dalam tulisannya yang disebutkan di atas. Walaupun Gayo dan Toba sama-sama berbahasa Austronesia, tetapi Gayo tidak berbudaya Dongson, sedang Toba berbudaya Dongson. Itu sebabnya, arkeolog Ketut Wiradnyana, yang memimpin Tim Balai Arkeologi Medan di Gayo, mengemukakan: “Sampai saat sekarang ini saya belum menemukan adanya budaya Dongson (Tanah Batak) di bumi Gayo. Kita akan melakukan kajian lebih mendalam lagi tentang ini. … Sementara di Tanah Batak didominasi oleh budaya Dongson (salah satu budaya berasal dari Vietnam Utara) yang perkembangannya sekitar 2500 tahun yang lalu. Budaya Dongson ini ditandai dengan adanya logam dan pola hias yang ditemukan di rumah Batak Toba, yang menggambarkan binatang atau manusia dengan hiasan bulu-bulu panjang.” (Lintas Gayo, 14/01-2012).

Selengkapnya: sopopanisioan.blogspot.co.id


Add comment


Security code
Refresh