Top Stories
-
Bagaimana Awal Mula Kamboja Jadi Pusat Scam?
-
Munir Lebih Layak jadi Pahlawan Nasional daripada Soeharto
-
Telur Ayam dan Telur Bebek, Mana yang Paling Sehat?
-
7 Penyebab Kenapa Setelah Makan Kebelet BAB
-
Debt Collector Rampas Mobil Taksi Online yang Antar Jemaah Umrah di Bandara Soetta
-
Keadilan Yang Tidak Adil
Search
- Details
- Category: News of the Day
- By ZA Sitindaon
- Hits: 317
HOMO HOMINI LUPUS

HOMO HOMINI LUPUS
Bertahun-tahun bumi ini berlumuran darah sejak ideologi kekuasaan mulai mendominasi manusia. Kebenaran pepatah Romawi "manusia adalah serigala bagi manusia," adalah majas yang tidak pernah sepenuhnya pudar.
Perang internasional, perang saudara, genosida dan terorisme, mewariskan tragedi yang melukai kehidupan banyak manusia, terutama mereka yang lahir sebelum akhir Perang Dingin. Sejak tahun 1900, kekerasan lintas ideologi politik telah menewaskan lebih dari 100 juta orang, yang sebagian besar adalah warga sipil.
Setelah itu, peradaban politik berbasis primordial mulai menggantikan konflik Perang Dingin sebagai titik nyala pertumpahan darah. Samuel Huntington mengingatkan ini 30 tahun silam dalam "Clash of Civilization", bahwa sektor primordial semakin mendominasi arus utama ekspresi politik. Sebuah pilihan yang sengaja dijalankan oleh banyak organisasi politik demi alasan strategis yang membuahkan hasil lebih instan dibanding cara psikologis atau sosial.
Dan hampir semuanya berujung kepada konflik. Sejak kerusuhan etnis di Rwanda, genosida Darfur dan Balkan, kepentingan politik kerap mengalir dalam kekerasan tanpa iba. Pembakaran masjid dan gereja oleh kelompok Hindu garis keras di India, persekusi Ashin Wiratu terhadap suku Rohingya di Myanmar, brutalitas ISIS di Iraq dan Suriah, semakin mempertegas bahwa manusia masih tetap menjadi serigala bagi manusia lainnya.
Intervensi "shifting strategy of global power" semakin menambah runyamnya pertarungan politik di negara-negara berkembang. Negara adidaya bertarung berebut pengaruh dengan meringkus kedamaian suatu kawasan. Setelah itu mereka datang sebagai pahlawan setelah "collateral damage" tercipta. Mereka yang menciptakan, mereka juga yang menyelesaikan. Modus konvensional.
Silang sengketa politik membuat orang "saling tebas" di tingkat bawah, sementara kalangan elit cukup mengakhirinya dengan satu kesepakatan sambil menyantap Wagyu Shodoshima dan tertawa bersama. Rakyat jelata mengawetkan permusuhan politik dengan saling mencaci, di saat para politisi yang tadinya berseteru, sedang bersulang berbagi konsesi.
Itulah ironi. Rakyat jelata rela berdarah-darah demi politik dalam simbiosis yang misterius; siapa yang mereka bela, dan siapa sebenarnya yang membela mereka. Maka, "janganlah terlalu mati-matian membela kepentingan politik seperti membela agama", kata Beta Marashi, "karena Tuhan mematikanmu hanya sekali, tapi politik bisa membunuhmu berkali-kali."
Sumber: twitter.com/islah_bahrawi/status