Meski demikian, Taufiqulhadi memberi catatan ke KPK andai benar mau menerapkan hukuman mati. Hukuman mati, kata dia, bisa diterapkan jika pelaku dianggap melakukan kejahatan yang menimbulkan korban dalam jumlah besar.
Sementara itu, anggota Komisi III DPR F-PPP Arsul Sani mengatakan penerapan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi memang dimungkinkan. Namun, Arsul menyebut semua ada aturannya.
"Berdasarkan UU KPK, maka KPK diberi kewenangan menuntut tipikor berdasarkan UU Tipikor. Nah Pasal 2 UU Tipikor tersebut memang membuka ruang bagi KPK untuk bisa mengajukan tuntutan pidana mati bagi para terdakwa tipikior. Artinya dari sisi hukumnya tidak salah kalau KPK mengkaji tuntutan pidana mati dalam kasus tipikor yang terbukti melanggar pasal 2 ayat 2, yakni terkait dengan perbuatan korupsi atas dana atau anggaran penanggulangan bencana alam atau krisis ekonomi," ucap Arsul.
"Nah kajian itu antara lain dari sisi spektrum peran terdakwanya. Terhadap mereka yang merupakan aktor intelektual dan unsur memperkaya diri atau korporasinya atau keluarganya dalam kasus tipikor maka tuntutan pidana mati bisa dipertimbangkan. Namun bagi mereka yang perannya hanya membantu melakukan atau turut serta tapi tidak turut memperkaya diri sendiri atau keluarganya maka tentu pidana mati akan menjadi kontroversi tersendiri," jelas Arsul.
Kasus dugaan suap proyek SPAM yang diduga dilakukan pejabat PUPR salah satunya diduga terkait pengadaan pipa HDPE di daerah bencana Donggala, Palu, Sulawesi Tengah. Wilayah tersebut merupakan lokasi bencana gempa dan tsunami beberapa waktu lalu.
Total suap yang diduga para pejabat Kementerian PUPR itu ialah Rp 5,3 miliar, USD 5 ribu dan SGD 22.100. Duit itu diduga merupakan bagian fee 10 persen dari total nilai proyek Rp 429 miliar yang didapat oleh kedua perusahaan itu.
(gbr/tor)