
Jumat, 28 Des 2018 12:24 WIB
Foto: Ardhi SuryadhiJakarta - Setelah pemerintah melalui PT Inalum (Persero) berhasil memiliki 51% sahan PT Freeport Indonesia (PTFI), muncul perdebatan. Banyak pihak yang mempertanyakan, kenapa Indonesia harus membayar, sementara kontrak habis di 2021?
Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu, melalui akun twitternya mengatakan, terdapat 3 pilihan bagi Indonesia merebut Freeport.
Pilihan pertama, hentikan kontrak dengan Freeport-McMoRan (FCX) dan ambilalih sepenuhnya. Kedua, ubah kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan ambil saham langsung mayoritas. Ketiga, ubah Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK dengan pengambilan saham bertahap.
Menurutnya, cara yang dilakukan Indonesia dalam merebut Freeport sudah tepat.
Adapun pihak yang menyebut Indonesia bisa mendapatkan Freeport secara gratis setelah kontrak habis bahwa otomatis setelah 2021 akan kembali ke indonesia seperti Migas, dan seperti kontrak tambang lain bahwa kontraknya tidak perlu diperpanjang.
"Alasan tersebut tidak salah jika kontrak karya Freeport dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani 1991 tidak mecantumkan klausul yang berikan keamanan investasi bagi Freeport Mc Moran di Papua," jelasnya.
Dalam kontrak karya generasi II yang ditandatangani 1991 itu tercantum bahwa pihak Freeport berhak meminta perpanjangan kontrak 2x10 tahun setelah kontrak habis. Pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan rasional. Kontrak hanya tunduk pada UU yang sudah berlaku saat kontrak ditandatangani.
"Alternatif penyelesaian kontrak setelah 2021 menjadi terbatas kecuali kita siap berperkara di arbitrase," sebutnya.
Jika sampai terjadi kasus arbitrase maka operasional tambang Freeport bakal berhenti. Andai berhenti sekitar sebulan saja, menurutnya Freeport akan sangat sulit bahkan tidak mungkin lagi dibuka dan dioperasikan selamanya. Itu karena ada persoalan teknis dan non teknis yang muncul.
Mempertimbangkan berbagai hal, dia menilai, jika lewat jalur arbitrase maka yang terjadi adalah 'menang jadi arang dan kalah jadi abu', alias menang atau kalah sama sama tidak untung.
"Atas uraian bagian pertama yang terkait akhiri kontrak vs beli saham, saya katakan bahwa solusi realistis adalah melanjutkan kerjasama dengan Freeport agar tambang tidak berhenti beroperasi, bukan menghentikan kontrak," paparnya.
Lantas, apakah harga yang dibayar Indonesia senilai US$ 3,85 miliar atau Rp 56 triliun kemahalan?
Menurut Said Didu, itu pasti sudah diperhitungkan dengan matang.
Karena mekanismenya adalah mekanisme korporasi maka seluruh perhitungan harga dan mekanisme pembayaran berdasarkan mekanisme korporasi, termasuk cara menghitung nilai saham yang tentunya menggunakan standar internasional.
"Saya percaya bahwa pak @BudiGSadikin (Dirut Inalum) sebagai pimpinan perundingan adalah seorang profesional yang saya yakin mengikuti kaidah-kaidah profesional," tambahnya.
(das/das)
Mantan Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Said Didu, melalui akun twitternya mengatakan, terdapat 3 pilihan bagi Indonesia merebut Freeport.
Pilihan pertama, hentikan kontrak dengan Freeport-McMoRan (FCX) dan ambilalih sepenuhnya. Kedua, ubah kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan ambil saham langsung mayoritas. Ketiga, ubah Kontrak Karya (KK) menjadi IUPK dengan pengambilan saham bertahap.
Menurutnya, cara yang dilakukan Indonesia dalam merebut Freeport sudah tepat.
Adapun pihak yang menyebut Indonesia bisa mendapatkan Freeport secara gratis setelah kontrak habis bahwa otomatis setelah 2021 akan kembali ke indonesia seperti Migas, dan seperti kontrak tambang lain bahwa kontraknya tidak perlu diperpanjang.
"Alasan tersebut tidak salah jika kontrak karya Freeport dengan pemerintah Indonesia yang ditandatangani 1991 tidak mecantumkan klausul yang berikan keamanan investasi bagi Freeport Mc Moran di Papua," jelasnya.
Dalam kontrak karya generasi II yang ditandatangani 1991 itu tercantum bahwa pihak Freeport berhak meminta perpanjangan kontrak 2x10 tahun setelah kontrak habis. Pemerintah tidak bisa menghalangi tanpa alasan rasional. Kontrak hanya tunduk pada UU yang sudah berlaku saat kontrak ditandatangani.
"Alternatif penyelesaian kontrak setelah 2021 menjadi terbatas kecuali kita siap berperkara di arbitrase," sebutnya.
Jika sampai terjadi kasus arbitrase maka operasional tambang Freeport bakal berhenti. Andai berhenti sekitar sebulan saja, menurutnya Freeport akan sangat sulit bahkan tidak mungkin lagi dibuka dan dioperasikan selamanya. Itu karena ada persoalan teknis dan non teknis yang muncul.
Mempertimbangkan berbagai hal, dia menilai, jika lewat jalur arbitrase maka yang terjadi adalah 'menang jadi arang dan kalah jadi abu', alias menang atau kalah sama sama tidak untung.
"Atas uraian bagian pertama yang terkait akhiri kontrak vs beli saham, saya katakan bahwa solusi realistis adalah melanjutkan kerjasama dengan Freeport agar tambang tidak berhenti beroperasi, bukan menghentikan kontrak," paparnya.
Lantas, apakah harga yang dibayar Indonesia senilai US$ 3,85 miliar atau Rp 56 triliun kemahalan?
Menurut Said Didu, itu pasti sudah diperhitungkan dengan matang.
Karena mekanismenya adalah mekanisme korporasi maka seluruh perhitungan harga dan mekanisme pembayaran berdasarkan mekanisme korporasi, termasuk cara menghitung nilai saham yang tentunya menggunakan standar internasional.
"Saya percaya bahwa pak @BudiGSadikin (Dirut Inalum) sebagai pimpinan perundingan adalah seorang profesional yang saya yakin mengikuti kaidah-kaidah profesional," tambahnya.
(das/das)