fbpx

2039663213

KOMPAS.com/RENI SUSANTIOwner Sneaklin, Refaldy Fauzi.

BANDUNG – Refaldy Fauzi merenung. Tugas dosen kewirausahaan yang menantang ia dan mahasiswa lainnya membuat bisnis dengan modal Rp 100.000 cukup menguras pikirannya.

Beberapa kali ide muncul, namun mentah lagi. Sebab ia ingin menyuguhkan bisnis baru yang belum pernah ada.

 

Hingga suatu hari, ia harus mencuci sepatu, aktivitas yang menjadi hobinya sejak kecil. Saat sedang mencuci sepatu, ide baru terlintas.

Ia kemudian berselancar di dunia maya dan dengan keteguhan hati memutuskan untuk membuat bisnis cuci sepatu.

“Ketika cari di internet, belum ada bisnis yang bener-bener konsen pada cuci sepatu. Kalau yang gabung dengan laundry baju banyak,” ujar Refaldy kepada Kompas.com mengenang masa lalunya, Rabu (26/6/2019).

Awalnya sasar sepatu teman kampus

Setelah yakin dengan idenya, saat itu, Oktober 2013 ia membuat business plan dan menamakan usahanya “Sneaklin”. Sneaklin berasal dari kata sneakers dan clean yang artinya sepatu yang bersih.

Ia lalu membelanjakan modal Rp 100.000 untuk sabun, sikat, dan packaging. Dari uang Rp 100.000, hanya habis Rp 88.000.

“Customer pertama ya teman kelas. Saat itu harganya Rp 10.000 per pasang,” tutur pria kelahiran Bandung, 1 Agustus 1993 ini menjelaskan.

Dalam waktu 3 bulan, ia mampu membersihkan 250 pasang sepatu. Namun bukan hal mudah menjalankannya.

 

Setiap pagi saat pergi ke kampusnya di Universitas Widyatama, ia membawa tas besar berisi sepatu bersih teman-temannya. Saat pulang kuliah, tas tersebut diisi sepatu kotor.

Sesampainya di rumah di Jalan Katamso, ia mencuci sepatu hingga larut malam. Kadang ia harus terjaga mencuci sepatu hingga pukul 01.00 dini hari.

“Sehari bisa nyuci sampai 20 pasang. Orangtua sempat komplain karena demi sepatu jadi tidur malam. Tapi mau gimana lagi, namanya juga tanggung jawab,” ungkapnya.

Seteleh menyelesaikan tugas tersebut dan mendapat nilai A, ia bertekad untuk melanjutkan bisnis cuci sepatu. Seusai lulus, ia pun berjualan jasa via online dan menarik minat komunitas kampus lain.

 

Saat itu, ia menerima pesanan via online kemudian menjemput sepatu, mencucinya sendiri dan mengantarkannya kembali.

Lama-kelamaan ia merasa lelah dan memutuskan  untuk mencari tempat. Hingga akhirnya ia menemukan tempat di Jalan Surapati berukuran 2x3 meter dengan harga sewa Rp 1 juta per bulan.

Ubah konsep usaha

Enam bulan kemudian, tepatnya tahun 2015, tempat usahanya tidak cukup. Ia pun menyewa tempat lebih luas di Jalan Ambon dengan harga sewa yang juga tinggi.

“Karena (biaya operasional) ga masuk, saya ubah konsep usahanya menjadi premium shoes laundry. Sehingga store dan packagingnya lebih bagus, tapi harga pun naik 50 persen, dari Rp 30.000 menjadi Rp 40.000-60.000,” ucapnya.

Perubahan harga ini pula yang membuat pasar Sneaklin berubah. Dari awalnya mahasiswa berusia 18-24 tahun, kini menjadi 24-35 tahun.

 

Pergeseran ini rupanya memberi dampak positif. Sebab pasar 24-35 tahun hitungannya keluarga sehingga lebih menguntungkan secara finansial.

Sejak konsep berubah, customer Sneaklin semakin banyak. Hal ini membuat temannya berminat membuka cabang dan bekerja sama dengan Refaldy.

Melihat usaha yang terus berkembang, ada beberapa investor yang berniat untuk franchise. Franchise Sneaklin pertama terjadi pada September 2015 di Bali.

Kini Sneaklin sudah ada di 39 store di Bandung, Bali, Balikpapan, Jakarta, Pontianak, Banjarmasin, Jabodetabek, dan Palembang.

Omzet dari 39 toko ini hampir Rp 500 juta per bulan atau miliaran per tahun. Sedangkan store yang ada di Jalan Lombok sendiri omzetnya mencapai Rp 40 juta-50 juta per bulan.

 

“Tahun ini rencananya akan buka di Semarang dan Jakarta,” tuturnya.

Minatnya pada dunia bisnis sudah ada sejak kecil. Sejak SD ia sudah berjualan alat tulis. Di SMP ia jualan cemilan. Begitupun SMA jualan keripik pedas hingga baju.

“Orangtua saya wiraswasta, kakek saya juga pengusaha. Jadi dari kecil sudah melihat dunia bisnis,” imbuhnya seraya mengatakan sedang mengembangkan bisnis pencucian tas.

Kunci Sukses

Suami dari Reiva Irene Seraphina ini mengatakan, kunci dari keberhasilan usahanya adalah jujur mengikuti apa yang diinginkan. Selain itu menjaga kualitas.

“Dari 2013, saya tidak punya biaya marketing. Usaha ini berjalan karena kami mengandalkan kualitas,” ungkapnya.

Walaupun untuk mencapai kualitas mumpuni ini ia harus mengganti beberapa sepatu yang rusak akibat kesalahan proses pencucian. Hingga lama-kelamaan ia mendapat formula pas untuk 14 bahan sepatu yang dikerjakan.

Hingga kini, potensi bisnis perawatan sepatu masih menjanjikan. Itu terlihat dari bermunculannya bisnis perawatan sepatu di Bandung yang sudah mencapai 125 brand.

Sumber: https://amp.kompas.com/regional/read/2019/07/01/06495591/berkat-tugas-cuci-sepatu-bermodal-rp-100000-bisnis-refaldy-kini-beromzet


Add comment


Security code
Refresh