fbpx

FB IMG 1562821931661

Suasana persidangan PHI di PN Jakarta Pusat

Perjuangan Panjang Itu Akhirnya Melegakan Ibu Guru Fransisca

"Pak Panitera, sidang kasus no 42 kapan dimulai?", tanya Bu Sisca.

Panitera PHI menjawab tidak pasti. Sudah hampir 7 jam Bu Sisca menunggu tanpa kepastian. Perutnya sudah lapar. Waktu azan Magrib telah tiba. Ia sabar menunggu di ruang pengadilan PHI Jakarta Pusat. Sejak pukul 10.00 WIB. Menanti keputusan hakim dengan perasaan campur aduk. Soal nasibnya. Soal kehormatannya. Soal harga dirinya. Soal martabatnya. Sebagai guru. Sebagai perempuan. Sebagai Ibu.

 

Cita-citanya sejak kecil menjadi guru. Ayahnya Michael Koban adalah perintis Paroki St Lukas sejak tahun 70an. Dari ayahnya Sisca belajar arti pelayanan. Melayani Tuhan itu berarti melayani sesama manusia. Menjadi guru salah satunya. Mendidik budi pekerti. Menanamkan nilai. Mencerdaskan akal. Memberi pengetahuan.

Michael Koban, ayah Sisca meninggal dunia pada 1987. Saat Sisca masih kuliah di IKIP. Sisca sangat kehilangan. Ayahnya adalah pegangannya. Ayahnya adalah sandaran hidupnya. Peletak dasar karakternya.

"Ayah yang membentuk karakter saya. Kejujuran, keberanian dan suka menolong itu yang selalu diajarkan almarhum ayah saya Bang Bir", tutur Bu Sisca.

Kemarin, Rabu, 10 Juli 2019, Sejak pukul 10.00 WIB, Bu Sisca sangat merindukan ayahnya. Ia duduk sendirian di ruang pengadilan sebagai tergugat sungguh sangat melukai perasaannya. Ia membayangkan wajah ayahnya. Michael Koban. Perintis paroki St Lukas.

"Doakan saya ayah. Biar kuat mendengarkan keputusan hakim. Maafkan anakmu ini belum sanggup berdiri teguh seperti batu karang", ucap Sisca lirih.

Sekitar pukul 18.30 WIB, Tiga hakim masuk ruang sidang. Dengan jubah toga. Jubah hitam padu merah tua dengan dasi putih. Agung sekali.

Bu Sisca berdiri. Di samping kanan hakim. Duduk sendirian. Untuk mendengarkan putusan yang mulia hakim pengadilan. Yang mengadili perkara gugatan penggugat Yayasan St Lukas. Gugatan yang diajukan dengan tuduhan Bu Sisca melakukan pelanggaran berat. Menjadi provokator di sekolah.

Di depan tempat duduk Bu Sisca tampak meja kursi kosong. Pihak penggugat tidak hadir. Pihak Yayasan tidak hadir. Indradi Kristianto tidak nampak batang hidungnya.
Indradi Kristianto Ketua Yayasan tidak terima dengan Bu Sisca. Sudah hampir 2 tahun. Berawal dari rasa ingin tahu Sisca.

Mengapa uang pensiunnya hanya 70an juta, sementara rekan guru yang sama dengan lama mengajar yang sama bisa dua kali lipat nilai pensiunnya?

Mengapa nilai THR tidak seperti aturan yang sudah disepakati dalam Peraturan Umum Kepegawaian PUK sebelumnya?

Dua pertanyaan ini akhirnya membawa Bu Sisca berada di ruang pengadilan. Sebelumnya akhir Februari 2018, Sisca dicopot dari jabatannya sebagai wakil kepala sekolah. Selepas dicopot, lalu dimutasi dari guru SD menjadi guru BK di SMA. Bu Sisca tetap bertahan. Ia tahu sedang dihimpit. Ia sedang ditekan. Tujuannya agar ia menyerah. Mundur. Bu Sisca terus bertahan.

Akhirnya, pada 1 Oktober 2018, surat PHK sepihak keluar. Bu Sisca dipecat. Tuduhannya dicari-cari. Tuduhannya dibuat-buat. Sebuah pelanggaran berat. Provokator. Gajinya distop. Haknya diputus. Tunjangan sertifikasi dari negara tidak diberikan lagi.

PHK sepihak itu akhirnya masuk dalam perundingan Tri Partit. Melibatkan Sudin Tenaga Kerja DKI. Hasil rekomendasi Sudin meminta yayasan mengembalikan Bu Sisca sebagai guru kembali. Mengembalikan hak2nya sebagai guru. Tuduhan Yayasan tidak terbukti.

Yayasan St Lukas tidak puas. Indradi Kristianto tidak senang. Pokoknya Sisca harus keluar. Pokoknya Sisca harus dipecat.

Yayasan mengajukan gugatan ke PHI Jakpus. Gugatannya sama. Dalil tuduhannya sama. Sisca melakukan pelanggaran berat.

Sidang akhirnya berlangsung. Bu Sisca menghadapi tuduhan itu sendirian. Ia tanpa didampingi pengacara. Hanya teman2nya. Bu Sisca dibantu konsultasi hukum Azas Tigor Nainggolan.

Sidang itu menguras energi, emosi, waktu dan pikiran Bu Sisca. Ia seperti ditimpuk batu dari segala penjuru. Belum lagi perasaannya yang merasa dibenamkan dalam lumpur. Kehormatan dan martabatnya sebagai guru sedang direnggut. Dirampas. Yang sudah mengabdi 33 tahun. Tanpa pernah mendapatkan Surat Peringatan. Tanpa pernah melakukan kesalahan.

Di ruang pengadilan itu Bu Sisca gemetar. Ia berada pada titik terakhir perjuangan panjang nan melelahkan. Ia sedang menanti keputusan apakah terbukti sebagai provokator atau tidak terbukti. Itu saja yang sedang ditunggunya. Hanya itu.

Hakim ketua membacakan putusan. Panjang. Berisi pertimbangan hukum dan alasan-alasannya. Bu Sisca seperti patung mendengarkan. Dadanya dag dig dug. Wajah ayahnya berkelebat di matanya. Ada nama baik ayahnya dipertaruhkan.

"Menimbang dan memutuskan bahwa gugatan penggugat tidak terbukti berdasar hukum. Mengabulkan permohonan penggugat pemutusan hubungan kerja dengan alasan tidak ada keharmonisan lagi. Menghukum Penggugat membayar kompensasi 2 kali ketentuan. Menghukum Penggugat membayar upah proses 6 bulan". Tok..tok..tok. Hakim mengetuk palu.

"Ya Tuhan Yesus...terimakasih Tuhan. Terimakasih Bunda Maria", lirih Bu Sisca terbata-bata.

Di pojok kursi tergugat itu Bu Sisca menangis haru. Matanya berkaca-kaca. Perjuangannya berhasil. Tuduhan keji dan mengada-ada dari Yayasan St Lukas tidak terbukti. Ia plong sekali. Lega sekali. Terbayang wajah ayahnya tersenyum dan bangga pada anaknya Fransisca Tri Susanti.

"Ini yang paling penting buat saya. Saya nggak mikir yang lain lagi. Masalah PHK dan pihak yayasan tidak menghendaki saya kembali bekerja, saya terima dengan ikhlas. Masalah bagaimana masa depan saya selanjutnya, itu biar Tuhan yang mengatur,” tutur Fransisca.

"Memperjuangkan satu kebenaran dan keadilan itu mahal, Nak! Perlu kesabaran, pantang menyerah," demikian pesannya kepada peserta didiknya.

"Saya menerima keputusan Hakim. Saya juga bersyukur karena dari perjalanan kasus ini, membuat saya tahu bahwa ternyata saya begitu dicintai oleh murid-murid saya. Murid-murid yang sudah lulus puluhan tahun pun muncul memberi kesaksian dan menguatkan saya. Saya sangat mengapresiasi kepedulian mereka," tambahnya.

"Saya lega sekali Bang Bir. Saya mau ke ruang pojok berdoa bersyukur pada Tuhan Yang Maha Adil", pesan chat Bu Sisca tadi malam.

"Ternyata, 33 tahun mengabdikan diri di Santo Lukas bisa saya akhiri dengan baik. Saya melayani murid-murid dan orangtua murid, bukan hanya melayani Pengurus Yayasan. Kesaksian murid-murid dan orangtua murid kepada saya menjadi pegangan saya," pesan Sisca.

Hari ini, mentari pagi bersinar cerah. Pun angin pagi.
Sinar dan hembusan angin menyapa semua. Yang bahagia. Yang menderita. Yang kuat. Yang lemah. Yang kaya. Yang miskin. Yang sehat. Yang sakit.

Hari ini, sesak dada dan pergumulan panjang Bu Sisca itu berakhir. Memang tidak sehangat mentari pagi hasilnya. Tapi setidaknya kehormatan dan martabatnya tidak tercerabut.Setidaknya cahaya mentari telah menyinari kegelapan yang selama hampir dua tahun menelan kebahagiaannya.

Selamat Bu Sisca...kami salut pada perjuangan Ibu. Percayalah kebenaran akan mencari jalannya sendiri sekalipun berat dan sulit.

Salam perjuangan penuh cinta

Birgaldo Sinaga

Sumber:  https://www.facebook.com/1820404924838978/posts/2293306724215460/


Add comment


Security code
Refresh