Antara Aku, Kajitow dan Niluh
Oleh: Birgaldo Sinaga
Saya cukup kaget juga membaca perseteruan Kajitow dan Mbok Niluh. Perseteruannya sudah menusuk tulang. Bukan lagi menusuk daging. Padahal masalahnya sepele. Soal cara pandang atas cuitan haters Ahok Jokowi yang bernama Lisa Marlina.
Lisa Marlina menulis di Bali setiap jengkal itu ada pelacur dan pelacuran. Kontan warga Bali meradang. Terlebih Mbok Niluh benar2 marah. Kemarahannya itu disalurkannya dengan melaporkan Lisa ke Polda Bali. Melaporkan Lisa adalah cara beradab karena hukum memberi koridor itu.
Tulisan saya soal Lisa Marlina bisa dibaca di sini.
https://m.facebook.com/story.php?story_fbid=2301265570086242&id=1820404924838978
Barusan teman Kajitow Elkayani menulis serial tulisannya yang kedua soal Lisa Marlina. Kajitow menulis dengan sudut pandang berbeda soal kasus ini. Lisa yang dilaporkan Niluh digugat oleh Kajitow. Gugatannya bagai sembilu mengiris daging. Setidaknya itu yang bisa saya tangkap dari diksi dan kalimat Kajitow.
Tentu orang yang tidak mengenal Kajitow akan terkejut. Seperti orang lagi baca koran pagi hari tetiba muncul gempa bumi. Tidak heran Mbok Niluh yang membaca gugatan Kajitow nanar membaca setiap kata2 tulisan itu.
Bak gayung bersambut, upper cut menohok dikirim Niluh sebagai balasan. Kali ini tulisan Niluh menusuk dalam. Mbok Niluh yang saya kenal halus budinya mendadak menghunus pedang. Maka terjadilah apa yang kita kenal dalam sejarah perang paregreg. Tentu dalam konteks aksara tanpa suara.
Saya tidak akan berargumentasi soal ini dengan Kajitow. Soal apakah laporan Niluh ke polisi layak atau tidak layak. Soal pandangan filosofi generalis chauvinistik seperti Hitler dengan slogan bangsa aryanya. Atau alasan primordialisme sempit yang menyatakan suku di luar mereka kelas dua.
Di sini saya hanya mau menulis tentang apa itu teman tentang apa itu persahabatan.
Saya mengenal Mbok Niluh ketika sama-sama berjuang sebagai Ahoker. Beberapa kali bertemu dan bersua dengannya. Ngobrol dengannya penuh empati dan kasih. Ia begitu mudah akrab dan dekat dengan siapa saja. Tanpa pandang bulu. Saya dua kali satu panggung dengannya saat jadi nara sumber diskusi kebangsaan. Sekali bertemu dengannya di Bali.
Saya juga beberapa kali bertemu dengannya di Palu Donggala Sigi. Saat itu kami dalam pesawat berbeda bertemu di Donggala saat menyisir pengungsi yang sudah hampir seminggu terisolasi. Mbok Niluh turun dengan gagah berani. Menjadi relawan kemanusiaan dengan melepas embel2 pengusahanya. Ia sosok yang bukan saja berkata2 tapi juga mau terjun langsung mempertaruhkan tubuh jiwanya. Tidak banyak orang seperti Mbok Niluh.
Saya bertemu dengan Kajitow sekali. Saat diundang ke istana Bogor buka puasa setahun lalu. Sebelumnya saya mengenalnya melalui tulisannya di Kompasiana. Kebetulan saya dan Kajitow penulis di Kompasiana pada tahun 2012-an.
Pada 2016, saya mengajak Kajitow untuk menulis di Seword. Saya pikir Seword platform yang cocok untuk penulis opini seperti dia. Kajitow mengeluh beberapa kali tulisannya diban admin Kompasiana. Nah Seword sebagai platform media opini memberi kebebasan kepada penulis tanpa banyak sensor. Jadilah Kajitow berpindah. Bahkan didapuk sebagai jubir Seword.
Memahami karakter Kajitow memang tidak mudah. Kajitow bukan sekedar penulis biasa seperti saya, Eko, Denny atau mbok Niluh. Kajitow punya kepingan sastrawan. Kepingan penyair. Kepingan filsuf.
Maka tidak heran, kadang kala kita dibuat terhenyak dengan tulisannya yang tajam setajam silet,.juga padat bak palu gada. Sayangnya, Kajitow saat menuliskan pikirannya tidak mengenal alamat. Siapa saja jika tidak pas dengan sudut pandangnya akan disikat. Akan dihajar. Tak peduli kawan atau lawan.
Saya punya rumus, ketika seorang sudah saya anggap teman, jika saya tidak setuju pada pandangannya maka saya akan memilih diam. Saya memilih tidak menjatuhkannya melalui tulisan tandingan.
Demikian juga jika saya dihujat, diejek, dicemooh sekeras apapun maka saya akan memilih tidak bereaksi membalas tulisan hujatan itu. Saya fokus saja pada pokok pikiran saya.
Saat Presiden Jokowi berencana mau membebaskan Ustad ABB, hampir semua seleb cebong mendukung rencana pembebasan ABB. Arus utama pendapat cebong menyetujui rencana itu. Ramai sekali opini yang mendukung narasi pembebasan ABB.
Saat itu.saya sedang nyaleg. Berat sekali pergumulan saya membaca rencana keputusan Jokowi. Saya tahu konswekensi jika menentang arus utama. Caci maki sumpah serapah pasti menggelegar menembus lapisan armosfir.
Lama saya berpikir. Belum lagi saya akan kehilangan calon pemilih saya. Saya yakin mereka cebong kacamata kuda. Apa yang direncanakan istana pasti mutlak jadi sabda kebenaran. Ditambah lagi framing seleb medsos dengan narasi dongeng sebelum tidur. Tak ada celah untuk mengelak.
Tapi saya harus memilih pilihan sulit itu. Dan saya mengambil risiko dicaci maki dan disumpah serapahi. Saya mengambil risiko kehilangan suara. Karena saya haqul yakin, ketika Jokowi membebaskan ABB maka jangkar pemilih minoritas akan lepas. Tak ada lagi orang yang mau menjadi perisai Jokowi. Dan itu analisis saya.
Dugaan saya tepat. Tulisan protes keras pembebasan ABB itu viral. Merambat kencang menembus dinding tebal istana. Pro kontra sesama cebong bergemuruh. Kaum golput ikut mengipasi. Disertai ancaman akan membuat relawan golput baru.
Dan konswekensi itu akhirnya saya terima. Hujatan, cibiran, caci maki sumpah serapah saya terima. Meme2 jangan pilih Birgaldo melesat di banyak grup WA. Bahkan teman satu grup fesbuk yang dikomandani Lae Sahat Siagian topik tentang saya berhari2 dibahas. Lengkap dengan foto kampanye saya dengan caption " Birgaldo Sinaga lebih teroris daripada teroris sesungguhnya". Dan menyebarlah meme itu di banyak grup.
Nah, Kajitow Elkayeni teman saya ini juga menulis tentang protes saya. Tulisannya tajam menusuk ulu hati. Hampir sama dosisnya seperti tulisannya menyerang Mbok Niluh. Bayangkan Kajitow menulis bahwa aksi kemanusiaan saya selama ini sama seperti psikopat. Mencari perhatian. Sesungguhnya sama seperti psikopat.
Dan tulisannya itu menjadi panggung pesta kemenangan cebong kacamata kuda membully saya. Saya dikuliti. Ditelanjangi. Dihajar. Disembelih. Pokoknya kayak jenderal saat dihajar di sumur lubang buaya.
Nah, apa reaksi saya membaca semua cebong yang menghajar saya?
Ya diam saja. Woles saja. Saya tidak peduli sama semua orang ini. Anggap kentut saja semuanya. Anggap angin lalu. Mereka otaknya kecil, saya gede. Otak gede kudu maklumi otak kecil. Tak sanggup mereka menganalisis apa yang terjadi andai Jokowi membebaskan ABB. Saya fokus pada hasil. Yang penting Jokowi batalkan rencana itu. Mau Kajitow dan genknya jungkir balik menghajar sayasaya masa bodo. Yang penting Jokowi menang. Titik.
Nah, tentu lain ladang lain belalang. Lain lubuk lain ikannya. Setiap orang beda karakternya. Dan kita harus bisa menerima perbedaan itu.
Saya tentu tidak bisa mendesak Mbok Niluh seperti saya. Respon orang tentu berbeda beda pada suatu masalah. Ada alasan subjektif dan objektif. Dan itu sah sah saja.
Jadi kalau reaksi mbok Niluh benar2 meradang penuh amarah pada tulisan Kajitow tentu saya maklumi. Saya berada pada posisi apa yang sedang diperjuangkan Mbok Niluh itu adalah hak warga negaranya. Hukum memberinya saluran untuk melalukan pembelaan diri. Apapun istilahnya kehormatan, harga diri, martabat, marwah itu sah-sah saja.
Sayangnya Kajitow sebagaI teman seperjuangan lupa satu pemeo. Terkadang bersikap bijak lebih manfaat daripada bersikap benar. Benar itu relatif. Sudut pandang melihat kasus Lisa mungkin benar menurut Kajitow dengan segala alasannya. Tapi bagi orang lain belum tentu benar.
Saya hanya mau bilang dalam kondisi api membakar semerah apapun ingatlah satu hal, kita berada pada barisan yang sama. Sama2 ingin mewarisi negeri ini dengan baik penuh toleran, harmoni, adil dan sejahtera.
Jikapun kalian berkelahi, jangan pernah simpan dalam hati.
Salam perjuangan penuh cinta
Birgaldo Sinaga
Sumber: https://www.facebook.com/1820404924838978/posts/2304725473073585/