fbpx

FB IMG 1564757160142

IBU TUA BERJELAGA DAN ANAK BABI

Oleh: Birgaldo Sinaga

Jumat, 7 Agustus 2015, Matahari tepat berada di atas kepala saya saat rombongan penari perang suku Hubiak berlari-lari kecil dari ujung lapangan Wosilimo tempat Festival Budaya Lembah Baliem berlangsung.

Ada sekitar 80 orang penari, separuh laki laki dan separuh perempuan. Mereka sub etnis dari klan Suku Dani yang mendiami pegunungan tengah Kabupaten Jayawijaya.
Lembah Baliem merupakan lembah di pegunungan Jayawijaya, Papua.

 

Lembah Baliem berada di ketinggian 1600 meter dari permukaan laut yang di kelilingi pegunungan dengan pemandangannya yang indah dan masih alami. Suhu bisa mencapai 10-15 derajat celcius pada waktu malam.

Lembah ini dikenal juga sebagai grand Baliem Valley merupakan tempat tinggal suku Dani yang terletak di Desa Wosilimo, 27 km dari Wamena, Papua atau satu jam berkendara mobil dari Wamena. Selain Suku Dani beberapa suku lainnya hidup bertetangga di lembah ini yakni Suku Yali dan suku Lani.

Setiap tahun gawean Festival Budaya Lembah Baliem FBLB selalu menarik minat turis luar maupun domestik. FBLB menjadi acara tahunan Pemkab Jayawijaya sejak 1989.

Sepulang dari kunjungan ke Tolikara, saya berniat melihat festival kesohor itu. Lapangan seukuran dua kali lapangan bola kaki yang berada di lembah itu ramai dipenuhi penonton lokal dan asing.

Ada ratusan orang di sana mengelilingi lapangan. Di kaki lembah ada panggung kehormatan dan tenda tempat penonton. Puluhan photographer asing dan domestik berdiri melebar mengambil posisi paling strategis tepat di depan panggung kehormatan.

Di sanalah atraksi masing-masing suku klan Dani akan menunjukkan kebudayaannya. Suku Hubiak siang itu mendapat giliran menari. Hampir semua peserta yang ikut festival budaya lembah baliem membawa tari perang.

Tari perang suku merefleksikan sering terjadi di antara suku-suku yang mendiami lembah baliem. Biasanya perang suku terjadi karena pelecehan sexual atau perzinahan. Jika sudah begini, nyawa taruhannya.

Setiap nyawa harus dibayar dengan nyawa. Perang akan berlangsung di lapangan, bisa berhari-hari bahkan berminggu minggu. Bahkan layaknya perang antar negara, ada momen gencatan senjata yang ditaati masing-masing suku jika kedua pihak yang berperang ingin istirahat sementara waktu.

Penari pria hanya memakai koteka, sementara perempuan bertelanjang dada. Pinggulnya dililit daun seperti jerami. Melihat para penari ramai bertelanjang serasa melempar saya ke masa pra sejarah. Saat manusia belum mengenal logam dan kain. Jaman Batu Tua, atau paleothikum age.

Rasanya saya berdiri di garis waktu yang berbeda. Saya berdiri di titian Abad Milenial dan mereka berdiri di Jaman Batu Tua kira kira 600 ribu tahun yang lampau. Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kira-kira 600.000 tahun yang lalu, yaitu selama masa pleistosen (diluvium). Pada zaman paleolithikum ini, alat-alat yang mereka hasilkan masih sangat kasar.

Paleolitikum atau zaman batu tua disebut demikian sebab alat-alat batu buatan manusia masih dikerjakan secara kasar, tidak diasah atau dipolis. Periode ini disebut masa berburu dan meramu makanan tingkat sederhana.

Kamera saya SLR EOS D60, berlensa 80-200 mm tidak henti mengambil momen-momen menarik para penari perang itu. Kameraku berkelebat bergerak ke segala arah. Mencari objek terbaik.

Seekor anak babi nampak berjalan pelan menuju sebatang pohon di pojok lapangan dekat gazebo tempat para penari istirahat. Berjarak kira-kira seratus meter dari tempatku berdiri memotret. Babi kecil itu berwarna putih. Kameraku ikut bergerak mengawasi langkah babi kecil itu. Muncungnya menyusur tanah. Babi itu berjalan menuju pohon rindang di pojok lapangan.

Di bawah pohon rindang itu seorang perempuan tua nampak duduk melambaikan tangan ke arah babi kecil itu. Sepertinya perempuan tua itu memanggil anak babi itu. Anak babi itu menurut. Ia berjalan lalu melompat ke pangkuan perempuan tua itu.

Ada apa gerangan?

Aku melihat hal yang aneh. Seekor anak babi melompat di pangkuan seorang perempuan tua lalu melompat-lompat. Aku memutuskan mendekati perempuan tua itu. Aku berjalan memutar dari sisi luar lapangan. Tujuanku satu, melihat lebih dekat perempuan tua dan babinya.

Langkahku terhenti. Aku dan perempuan tua itu hanya berjarak lima langkah. Tidak ada orang lain di bawah pohon itu. Hanya perempuan tua dan babi kecil itu.

Rasanya badanku sempoyongan. Tubuhku bergetar. Mulutku melongo. Aku seperti berada di Planet Apes dalam cerita film karya Sutradara Matt Reeves. Ini tidak mungkin terjadi. Ini hanya ada dalam cerita dongeng tentang Tarzan, seorang bayi manusia yang di pelihara monyet besar.

Sorot mata ibu tua itu dingin. Tajam. Tidak acuh. Ia tidak peduli kehadiranku. Wajah dan tubuhnya yang hitam dilumurinya dengan jelaga hitam. Tubuhnya kurus dan ringkih. Payudaranya rata. Hanya putingnya yang nampak menonjol.

Di atas kepalanya dililitkan noken. Kalung tradisional Papua melilit di lehernya berpadu dengan kalung dari alang-alang. Kedua lengannya bergelangkan ayaman rotan. Perempuan tua itu duduk bersila. Disamping kirinya ada kaleng kosong Chocolate Chips Cookies dan tas noken.

Perempuan tua itu tidak bereaksi sama sekali meski aku berdiri melongo di depannya. Aku terbengong beberapa menit. Lupa bahwa aku harus memotret momen langka ini. Rasanya ini diluar akal ku. Rasanya ini tidak mungkin terjadi di Indonesia. Rasanya ini hanya sebuah film fiksi, bukan nyata.

Kehadiranku tidak membuat babi kecil dan perempuan tua terganggu. Apa yang membuatku terpana? Tadinya aku menduga anak babi itu melompat bermain-main lalu disambut kedua tangan perempuan tua itu. Ternyata pemandangan dari jauh itu keliru.

Aku melihat pemandangan yang membuatku terpaku. Darahku seolah berhenti. Seekor anak babi sedang menghisap puting payudara perempuan tua itu. Mulutnya begitu rakus. Menyedot dengan muncungnya bagai menyantap bubur. Perempuan tua itu hanya diam. Tangannya sesekali memperbaiki posisi berdiri anak babi itu.

Setelah puas menyedot payudara perempuan tua itu, muncung babi itu berpindah ke atas. Mulut babi bertemu mulut perempuan tua itu. Perempuan tua itu menjulurkan lidahnya. Babi itu menyambutnya dengan rakus. Bertarik-tarikan.

Ludah perempuan tua itu serasa minuman vitamin buat babi itu. Babi itu terus menyedot mulut perempuan tua itu. Perempuan tua itu membalasnya dengan memajukan mulutnya. Layaknya orang dewasa berciuman ala french kiss.

Setelah puas menyedot ludah perempuan tua itu, mulut babi itu berpindah ke payudara perempuan tua itu. Begitu seterusnya. Berulang-ulang. Hampir tiga puluh menit aku berdiri di sana. Teriakan penari perang di depan tenda kehormatan tidak menarik lagi buatku.

Energi dan emosiku melorot. Jatuh ke titik nadir. Sorot mata perempuan tua itu begitu dingin. Saat anak babi itu menghisap puting dan mulutnya, kedua bola matanya seperti kosong. Sorot matanya menyiratkan kehampaan. Ia seolah menjelma menjadi seekor induk babi. Tidak ada ekspresi. Kadang pandangan matanya menunduk. Tangannya memegang badan babi kecilnya agar tidak terpeleset saat menjangkau mulutnya.

"Arrghhhh....arghhhhh....hussss...hussss..!!!", hardik perempuan tua itu sambil melotot ke arahku. Aku terperanjat. Suaranya keras. Seperti orang marah. Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk kaleng kecil di samping paha kanannya. Ia menunjuk-nunjuk kaleng itu.

Aku paham. Perempuan tua itu meminta agar aku memberinya uang. Ia memintaku memasukkan uang ke dalam kaleng itu sebagai upah atas aksinya bersama babi kecil itu.
Aku bingung. Haruskah aku memberinya? Ya Tuhan... bagaimana mungkin ini bisa terjadi di negeri kaya melimpah hasil bumi? Bagaimana mungkin ini bisa terjadi di negeri tempat lumbung emas, nikel dan tembaga di eksplorasi?

Bagaimana mungkin seorang perempuan tua kurus ringkih yang berada di surga kecil jatuh ke bumi harus hidup dari aksi menistakan kehormatan tubuhnya dari muncung babi?

Suara keras mendesis perempuan tua itu membangunkan keterkejutanku. Ia semakin keras mendesis. "Arrgghhhhh..arghhhhh..arghhhh..hussss..husss..hussss.!!!!," semakin keras diteriakkannya sambil matanya melotot ke arahku.

Aku tidak punya pilihan lain. Rasanya Ia akan menerkamku jika aku tidak memberinya uang. Rasanya Ia siap melemparku jika aku tidak memberinya uang. Ia penuh harap. Berharap mendapat uang dari aksi sirkus kecilnya.

Ia berharap membawa uang untuk belanja hidupnya sehari hari. Aku mendekat. Aku memasukkan uang ke dalam kaleng kecil itu. Telunjuk tangan perempuan tua itu mengarahkan tanganku agar memasukkan uang ke dalam kaleng itu.

Babi kecil itu terus beraksi. Babi kecil itu tidak berhenti menyedot meskipun aku mendekat hanya selangkah darinya. Babi itu tidak peduli denganku. Babi kecil itu asik dengan puting payudara dan mulut perempuan tua itu. Terus menerus menghisap tak henti hingga membuatku mual.

Aku menjauh. Segera meninggalkan perempuan tua itu dan babinya. Aku tidak sanggup lagi berdiri di sana. Kakiku gontai.

Panas terik Embah Baliem semakin membuatku ingin cepat-cepat meninggalkan lembah itu. Tarian perang suku Hubiak tentang peperangan karena pencurian tidak menarik perhatianku lagi.

Aku memutuskan pulang ke Wamena. Pikiranku kacau. Aku marah. Aku mau muntah. Aku mau menjerit. Aku mau menangis. Aku mau mandi membersihkan diriku. Aku mau tidur. Aku mau melupakan yang kulihat barusan. Melupakan bahwa itu hanya mimpi. Hanya mimpi di siang bolong.

Kemiskinan berbaur dengan kenistaan. Penderitaan berbaur dengan tiada pilihan lain. Manusia sebagai makhluk paling mulia yang diciptakan Tuhan Yang Kuasa berpindah tempat. Kemuliaan berpindah menjadi kenistaan. Semua karena kerakusan para pemimpin yang mendapat kuasa memuliakan kemanusiaan melahap kemanusiaan itu sendiri dengan korupsi mengerikan. Tiada lagi tersisa kekayaan itu buat mereka yang miskin dan terpinggirkan.

Dalam kegetiran menyaksikan opera hidup yang menyayat kemanusiaanku, aku tidak bisa berbuat apa apa. Aku hanya bisa berdiri mematung. Aku hanya rakyat biasa. Aku hanya bisa merekamnya dan membagikan kisah nyata ini sebagai mozaik tragedi kemanusiaan baru dalam hidupku.

Tapi itu belum seberapa dengan manusia beradab di sini. Di ibukota negara kita Jakarta. Di sini ada banyak manusia menyedot dan menghisap kehidupan manusia lainnya agar bisa hidup berlimpah kekayaan untuk anak cucu tujuh turunan tujuh tanjakan tujuh belokan.

Mereka orang berpangkat dan beriman melahap apa saja tanpa henti. Rakus dan tamak. Persis seperti anak babi itu. Tanpa malu tanpa perasaan. Melahap lebih banyak apa saja sampai habis tak bersisa.

Salam perjuangan penuh cinta

Birgaldo Sinaga

Sumber: https://www.facebook.com/1820404924838978/posts/2308003526079113/


Add comment


Security code
Refresh