Artinya proses pemilihan itu, meski nanti diangkat Presiden, keterpilihan para capim sebenarnya tidak penuh di tangan Presiden. Keputusan tentang 5 Capim ada di tangan DPR. Tapi mengapa masyarakat mendesak Presiden, bahkan juga anggota DPR mendesak Presiden, bukannya desakan itu mesti diarahkan ke DPR?

Jika 5 yang diindikasikan buruk menurut masyarakat (anti korupsi), tidak bisakah mereka mendesak anggota DPR untuk memilih 5 yang terbaik? Atau jangan-jangan, penentangan soal seleksi Capim ini karena kandidat pilihan mereka tersingkir dari proses seleksi? Dan untuk itu, to be or not to be, mereka mendesak agar proses seleksi digugurkan, diulang dari awal (sampai jagoan mereka kepilih)?

Alangkah busuknya demokrasi, jika kepentingan masing-masing kelompok lebih mengemuka daripada mengawasi prosesnya. Sementara itu, pada sisi lain, kini DPR diam-diam tengah menggodog perubahan UU KPK, yang 6 poin perubahannya berpotensi melemahkan KPK. Seperti soal ijin penyadapan, pembentukan dewan pengawas, system peradilan masuk ke pengadilan umum, KPK bagian dari eksekutif (di bawah Presiden), dan pemberian SP3 untuk kasus yang tak selesai dalam 1 tahun. Untuk diketahui, seluruh fraksi di Parlemen sudah setuju dengan Revisi UU KPK ini.

Pertanyaannya kadang bisa lebih sederhana; Apakah serangan terhadap Presiden, yang juga dilakukan anggota Dewan, merupakan bagian dari pengalihan isu, atas perubahan UU KPK yang dilakukan diam-diam, alias tidak dipublikasikan itu? Agar Dewan tidak diserang rakyat yang memilihnya?

Mari sok-sokan membela KPK, sebuah lembaga yang semula kayaknya keren, tetapi perlahan ikutan genit bermain politik. Kita selalu menimpakan seluruh persoalan pada Presiden. Padahal penguatan demokrasi adalah juga tugas DPR yang amanah, serta rakyat yang tidak koruptif dalam menilai secara kritis. Untuk menjadi proporsional melihat masalah, memang masih menjadi masalah utama kita. | @sunardianwirodono

Sumber: KataKita on FB  https://www.facebook.com/803774136380640/posts/2608418399249529/