fbpx

Ekspresi Ketua Umum Partai Berkarya Tommy Soeharto saat menghadiri acara kongres Partai Berkarya di Bogor, Jawa Barat, 23 Juli 2018. REUTERS/Beawiharta
 
REPORTER: BISNIS.COM 
EDITOR: DEWI RINA CAHYANI
SENIN, 19 NOVEMBER 2018 16:31 WIB

TEMPO.COJakarta - Tim eksekutor dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan beberapa waktu lalu telah menyita Gedung Granadi yang kini menjadi kantor Partai Berkarya Tommy Soeharto. Gedung itu adalah milik keluarga Cendana.

Kepala Humas Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Achmad Guntur mengatakan penyitaan dilakukan untuk menjalankan putusan dari Mahkamah Agung atas gugatan Kejaksaan Agung terhadap Yayasan Supersemar milik Keluarga Cendana.

"Saat ini, pengadilan masih menunggu hasil penilaian oleh appraisal yang independen untuk menentukan berapa nilai gedung itu," katanya, Senin, 19 November 2018.

Selain Gedung Granadi, menurut Jaksa Agung Muda bidang Perdata dan Tata Usaha Negara, Loeke Larasati Agoestina, Kejaksaan Agung juga sedang menelusuri saham dan rekening atas nama Yayasan Supersemar untuk dimasukkan ke dalam daftar aset yang harus disita tim eksekutor.

Dia memastikan Kejaksaan Agung tidak akan berhenti memburu aset milik Yayasan Supersemar hingga mencapai Rp 4,4 triliun untuk disetorkan ke negara. "Sekarang itu total aset yang kami sita dari Yayasan Supersemar baru sekitar Rp 243 miliar. Kami tidak akan berhenti, akan kami kejar terus semua asetnya Yayasan Supersemar ini sesuai putusan hingga Rp 4,4 triliun," ujar Loeke.

Loeke mengimbau agar Keluarga Cendana terutama Tommy Soeharto selaku Ketua Umum Partai Berkarya untuk kooperatif dan menyerahkan gedung tersebut demi tegaknya hukum di Indonesia. "Kami masih menunggu appraisal untuk nilai aset Gedung Granadi itu. Setelah perhitungannya selesai kami akan langsung sita gedung itu," katanya

Kejaksaan Agung bersama Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, menurut Loeke, masih menelusuri aset Yayasan Supersemar. "Eksekutornya itu adalah pengadilan. Kami bantu tim eksekutor untuk menelusuri seluruh aset Yayasan Supersemar baik itu berupa aset bergerak maupun aset tidak bergerak," ujarnya.

Dalam keterangan tertulisnya, Ketua DPP Partai Berkarya Badaruddin Andi Picunang mengatakan alamat Partai Berkarya berada di Jalan Antasari, Jakarta Selatan. "Granadi bukan kantor DPP Berkarya," ujar dia dalam keterangan tertulisnya, Senin, 19 November 2018.

Badaruddin menjelaskan Granadi merupakan kantor Humpus, perusahaan yang dijalankan oleh Tommy Soeharto. Menurutnya, Tommy pun sebagai penyewa di gedung tersebut. Dia meminta agar tidak mengaitkan persoalan gedung Granadi dengan Partai Berkarya.

Berdasarkan pantauan Tempo pada situs resmi Partai Berkarya, alamat DPP partai tersebut berada di Gedung Granadi - Jln. HR Rasuna Said Kav 8-9 Blok X1, Kuningan Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta, 12950. Kemudian untuk surel dapat dihubungi lewat This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it..

Keterangan: Berita ini sudah mengalami perubahan dengan menambahkan konfirmasi dari Ketua DPP Partai Berkarya. 

 Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ria Anatasia

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pemilik maskapai penerbangan Lion Air, Rusdi Kirana bertemu dengan ratusan anggota keluarga korban jatuhnya pesawat Lion Air PK-LQP dalam konferensi pers penjelasan evakuasi korban di Hotel Ibis Cawang, Jakarta Timur, Senin (5/11/2018).

Mengenakan kemeja putih, Rusdi bersama Dirut Lion Air Edward Sirait dan jajaran direksi maskapai penerbangan Lion Air memasuki aula yang sudah dikerumuni keluarga korban. Mereka duduk di barisan paling depan.

Hadir Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi, Dirut Lion Air Rudi Lumingkewas, Kepala Badan Nasional Pencarian, Pertolongan (Basarnas) Marsekal Madya M Syaugi.

Akhir Dari Penantian Vina Br. Sitindaon, Keluarga Korban Lion Air JT610

Sitindaon News (ZAS) - Hardy Sinaga dan Vina Br. Sitindaon adalah pasangan keluarga muda yang baru menikah di bulan Januari 2017 yang lalu. Hardy berasal dari Sungai Liat Pangkal Pinang dan Vina berasal dari Maniksilau, Sidamanik, Simalungun dan mereka bertemu di Jakarta. Sehari-hari keluarga ini penuh keceriaan dan kegembiraan menatap masa depan yg indah, apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Andrew yg baru berusia 1 tahun. 

 

 

Dream – Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) telah mengunduh informasi dalam Flight Data Recorder (FDR) pesawat Lion Air JT610.

Data dalam black box itu menunjukkan adanya kerusakan teknis pada pesawat yang jatuh ke perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, Senin 29 Oktober 2018 lalu itu.

Deretan Kisah Mengerikan Pemerkosaan Massal Mei 1998

Ilustrasi. (Thinkstock/Artem Furman)
Yuliawati, Priska Sari Pratiwi, CNN Indonesia
Kamis, 19/05/2016 12:47

Jakarta, CNN Indonesia -- Dewi, nama samaran, berusia 23 tahun saat Mei 1998. Dia baru tiba dari Jakarta setelah menyelesaikan pendidikan psikologi dari sebuah universitas di Inggris. Dewi pulang ke tanah air sembari membawa rencana pernikahan dengan kekasihnya.

Malang tak terduga. Sepekan setelah peristiwa penembakan empat mahasiswa Universitas Trisakti, saat Dewi bepergian dengan taksi seorang diri, tiba-tiba dua-tiga orang masuk ke dalam taksi yang ditumpanginya. Kala itu taksi berhenti di bawah jembatan Semanggi.

Dengan ancaman akan dibunuh, Dewi diperkosa bergantian oleh para pria berbadan tegap. Peristiwa bejat itu terjadi di dalam taksi yang melaju mengelilingi Jakarta selama sembilan jam. 


Para pemerkosa kemudian meninggalkan Dewi di pinggir jalan. Sebelum pergi, mereka memintanya tutup mulut.

“Mereka mengancam apabila korban membongkar cerita, seluruh keluarganya akan dibunuh dan dibakar,” kata Sandyawan Sumardi yang ketika itu menjabat Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRK) kepada CNNIndonesia.com, Senin (16/5).

Seorang sopir taksi lain lalu menemukan Dewi di pinggir jalan, dan mengantarkannya pulang ke rumah. Orangtua Dewi menceritakan pengalaman tragis sang putri kepada Sandyawan.

Sejak peristiwa itu, Dewi empat kali berniat bunuh diri. Dia pun bungkam seribu bahasa.

“Selama saya mengunjunginya tiga kali, dia belum bersedia berbicara,” kata Sandyawan. 

Ketika masih mendampingi Dewi itu, Sandyawan mendapat kabar tentang perempuan lain yang jadi korban pemerkosaan. 

Putri, bukan nama sebenarnya, seorang mahasiswa Universitas Tarumanegara, hampir mati akibat pendarahan di alat kelaminnya. 

Sekitar akhir Mei 1998, Putri yang tinggal di rumah kos di daerah Sunter, Jakarta Utara, didatangi dua pria. Kedua pria itu hendak memerkosanya. Putri sekuat tenaga melawan.

Salah satu pria yang menyerang Putri hendak menggunakan besi gorden untuk menusuk perutnya, dan meleset mengenai alat kelaminnya.

“Dokter Lie Darmawan yang menangani Putri. Meski kritis, Putri akhirnya selamat,” kata Sandyawan.

 

Sandyawan Sumardi, mantan Sekretaris Tim Relawan untuk Kemanusiaan yang menangani sejumlah korban pemerkosaan Mei 1998. (CNN Indonesia/Yuliawati)

Selain Dewi dan Putri, Sandyawan bertemu empat perempuan lain yang menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual pada Mei 1998. Kisah keenam korban itu dia buka saat menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).

Selain Sandyawan, ada tokoh-tokoh lain yang memberikan kesaksian tentang pemerkosaan massal dan kekerasan seksual selama Mei 1998.  Para pemberi kesaksian itu adalah korban, keluarga korban, saksi, dokter dan pendamping (konselor).  Menurut data para pemberi kesaksian kepada TGPF, terdapat 85 kasus kekerasan seksual dengan 52 di antaranya merupakan pemerkosaan dalam bentuk gang rape. 

Seorang saksi lain menuturkan kepada TGPF mengenai pemerkosaan yang dilihatnya pada 14 Mei 1998 di Muara Angke, Jakarta Utara.

Sekitar jam 11.30, saya melihat beberapa orang mencegat mobil dan memaksa penumpang turun, kemudian menarik dua gadis keluar dari mobil.

Mereka melucuti pakaian dua perempuan itu dan memerkosanya beramai-ramai. Kedua perempuan itu mencoba melawan, namun sia-sia. 

Setelah dua gadis itu berhasil melepaskan diri dari orang-orang biadab itu, saya mendekati dan mendekapnya. Saya kemudian membantunya mencarikan jalan aman untuk pulang.  Karena saya tinggal di daerah itu, saya hafal jalan pintas menuju jalan raya. 

Sesampai di perempatan Cengkareng, saya melihat beberapa mayat perempuan dalam keadaan telanjang dengan muka ditutup koran.  Perempuan-perempuan itu tampak telah diperkosa, karena dari vagina mereka terlihat leleran darah yang mengering dan dikerubungi lalat.

Setelah menolong dua perempuan itu, saya pulang melewati jalan yang sama. Ketika saya sampai di perempatan Cengkareng, mayat-mayat perempuan sudah tidak ada lagi. Ke mana mayat-mayat itu? Siapa yang membawa mereka?

Bungkam 

Mantan Koordinator TRK Divisi Kekerasan terhadap Perempuan, Ita Fatia Nadia, data versi TPGF yang mencatat 85 korban kekerasan seksual,  belum mencerminkan jumlah pemerkosaan dan kekerasan seksual sesungguhnya yang terjadi selama Mei 1998.

Begitu juga dengan data Tim Relawan untuk Kemanusiaan Divisi Kekerasan Perempuan yang menyebutkan korban pemerkosaan pada Mei 1998 sebanyak 152 orang dengan 20 orang di antaranya meninggal dunia.

“Jumlahnya bisa lebih besar dari itu karena banyak korban memilih diam,” kata Ita. 

Penderitaan amat berat yang dialami korban membuat sebagian dari mereka memilih bungkam. Ada korban yang memilih mengubah identitas dan bermigrasi ke luar negeri.

Menurut Ita, salah satu korban yang dia kenal memilih tinggal di Amerika Serikat. Korban itu bersama kawannya mengalami penganiayaan. Payudaranya dipotong oleh segerombolan orang di Jembatan Semanggi pada Mei 1998.

Aktivis perempuan Andy Yentriyani mengatakan, alih-alih mengungkapkan apa yang terjadi, para korban yang sebagian besar beretnis Tionghoa memilih menyelamatkan diri ke luar negeri, membentuk keluarga baru, dan melupakan peristiwa yang terjadi.

Korban yang telah memiliki keluarga baru sama sekali enggan membahas lagi peristiwa tersebut. Mereka khawatir keluarga barunya akan mengetahui tragedi pahit itu. Andy tak tahu pasti berapa banyak korban yang masih bertahan di Indonesia hingga saat ini. 

"Tahun 2008 ada beberapa yang bertahan di Indonesia. Tapi kalau sekarang saya kurang tahu," kata mantan Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Perempuan itu.

Negara lalai

Andy Yentriyani menyayangkan ketidakhadiran aparat penegak hukum saat peristiwa kerusuhan dan pemerkosaan selama Mei 1998. Padahal sebelum ada peristiwa penembakan yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti pada 12 Mei 1998, pasukan pengamanan menyebar hampir di seluruh titik ibu kota. Namun dari tanggal 13 hingga 15 Mei 1998, nyaris tak ada aparat berjaga.

"Pertanyaannya, di mana pasukan tersebut? Itu penting sebagai pertanggungjawaban negara atas perlindungan rakyat," kata dia, Rabu (18/5). 

Pemerintah, menurut Andy, seakan-akan tak percaya ada korban pemerkosaan dan kekerasan seksual pada Tragedi Mei 1998.

Saat ini pun pemerintah lalai dengan membiarkan laporan dari TGPF. Andy mengkritik aparat yang mensyaratkan adanya laporan korban untuk memproses kasus tersebut.

“Padahal ada trauma dan perasaan dari korban bahwa itu aib yang tidak bisa diungkapkan,” kata Andy.

Poses pengungkapan kebenaran ini pun, menurutnya, sampai sekarang dibiarkan menggantung oleh pemerintah.

"Dari data TGPF, ada indikasi kuat keterlibatan negara, baik kekerasannya maupun pembiarannya. Tapi negara lalai dan itu dibiarkan sampai sekarang," kata dia.

(yul/agk) 

 
 

Revolusi Mental ternyata tidak ampuh dan tidak mampu membasmi suap dan korupsi di negeri ini, harus ada Revolusi Rakyat melalui PETISI HUKUM MATI KORUPTOR

 

Para Penguasa dan Pengusaha yg bekerjasama berbuat curang dengan suap dan korupsi untuk memperkaya diri sendiri, kelompok dan usahanya telah menghancurkan moral bangsa yang mengakibatkan kesenjangan ekonomi dan penderitaan rakyat.

 

Perbuatan suap dan korupsi sama dahsyat dan efeknya bagi rakyat dan bangsa ini, tetapi perlakuan hukumnya jauh berbeda. Perlakuan hukum pada pelaku suap dan korupsi ini sangat istimewa, mulai dari penangkapan tidak ada yang diborgol seperti pencuri ayam dan sampai di lapaspun lapas istimewa, SUKAMISKIN, tidak sesuai nama dengan kondisi faktualnya.

 

Untuk memperbaiki moral bangsa ini dari perbuatan suap dan korup tidak cukup dengan ibadah dan doa saja, para pelakunya harus di Hukum Mati dan semua harta istri/suami dan anak-anaknya harus disita sampai habis.

 

Untuk itu mari kita bersama sama melakukan revolusi GERAM atau GErakan RAkyat basMi koruptor melalui "PETISI HUKUM MATI KORUPTOR". Jika anda setuju silahkan tanda tangan PETISI dibawah ini untuk selanjutkan kita sampaikan kepada pihak yang berwenang untuk membuat UU Hukum Mati.

 

 

 

KLIK DISINI UNTUK MENDUKUNG MENGESAHKAN HUKUM MATI KORUPTOR

 

JANGAN LUPA UNTUK MEMBAGIKAN PETISI INI KE FACEBOOK, INSTAGRAM, WHATSAPP UNTUK MENDUKUNG HUKUM MATI KORUPTOR !

 

Terima kasih atas kepedulian anda untuk Hukum Mati Koruptor

"Hukum Sontoloyo" atau "Hukum Mati"

 

Kasus Suap APBD Provinsi Jambi, mantan Gubernur ZZ dituntut hukuman 8 tahun penjara dan denda 1M.

Jika menangani para koruptor dengan "Hukum Sontoloyo" bukan dengan "Hukum Mati", maka korupsi dan suap akan terus saja marak, tidak pernah surut walau sudah banyak yg ott.

Tuntutan hukum penjara untuk mantan Gubernur Jambi ZZ cuma 8 tahun, dan nantinya jika sudah jadi narapidana paling hanya menjalani 1/2 dari masa hukumannya setelah potong sana potong sini, potong komisi dan potong remisi.

Semua yg ott atau tersangka korupsi tidak ada yang diborgol tangannya, tidak ada yg terlihat rasa malu, senyam senyum melambaikan tangannya, dasar Sontoloyo.

Para capres dan caleg tidak satupun yg berkomitmen penegakan hukum dengan membuat UU Hukum Mati Koruptor.

Para capres dan caleg hamya sibuk menjual dirinya untuk dilirik dan dipilih oleh rakyat. Apakah rakyat juga sudah jadi "Rakyat Sontoloyo" memilih capres dan caleg  "Sontoloyo" yg tidak serius memberantas korupsi.

Jika tidak mau disebut "Ralyat Sontoloyo" maka jangan pilih capres dan caleg yg tidak komitment Hukum Mati Koruptor

.Palu Hakim2 thumbnail

Momen saat Suharto mendatangi Iwan Adranacus di ruang sidang. Foto: Bayu Ardi Isnanto/detikcom

Bayu Ardi Isnanto - detikNews
Solo - Pemandangan mengharukan terlihat sebelum persidangan kasus dugaan pembunuhan yang dilakukan bos pabrik cat Iwan Adranacus. Ayah korban Eko Prasetio, Suharto justru memeluk hangat Iwan.

Suharto yang melihat Iwan duduk di kursi di barisan depan langsung menghampirinya. Iwan menunjukkan wajah kaget karena tiba-tiba Suharto memeluk, bahkan mencium pipi dan kening Iwan.

Suharto mengucapkan telah memaafkan dan mengikhlaskan kejadian yang menimpa anaknya. Sedangkan Iwan kemudian menyampaikan permintaan maaf atas tindakannya.

Usai persidangan, Suharto mengatakan pelukannya kepada Iwan tersebut dilakukan secara spontan. Dia berharap dengan memaafkan justru akan mendapatkan kebaikan.

"Itu tadi spontan. Mudah-mudahan dengan saya memaafkan, akan diberi yang terbaik. Karena hidup ini sementara, yang langgeng itu akhirat," kata Suharto kepada wartawan di Pengadilan Negeri Surakarta, Selasa (6/11/2018).


Dia juga mengaku ikhlas atas kepergian anaknya yang bernama Eko Prasetio itu. Dia yakin anak hanyalah titipan dari Tuhan.

"Ya saya menyadari bahwa anak saya hanya titipan dari Allah SWT, sudah takdir anak saya meninggal seperti itu," ujar dia.

Adapun dalam kasus ini, Iwan Adranacus diduga melakukan pembunuhan dengan cara menabrakkan mobilnya kepada pemotor bernama Eko Prasetio pada 22 Agustus 2018 lalu di Jalan KS Tubun, samping Mapolresta Surakarta.

Berawal dari cekcok karena masalah lalu lintas, keduanya melakukan aksi saling kejar. Hingga akhirnya Iwan menabrak Eko dari belakang hingga tewas. (bai/sip)