Sang Supir Ambulance
Mobil Ambulance
Sang Supir Ambulance
Namanya Firdaus marga Tambunan, anaknya 2 orang, dia masih muda. Tinggal persis di depan rumah kami. Pekerjaannya supir ambulance.
Selama ini mobilnya sering digunakan jika ada orangtua yang meninggal dunia di Medan dan dikubur di kampung atau bona pasogitnya. Jika seperti iu, biasanya pesta adat yang meninggal tersebut dilaksanakan di Medan. Jadi hanya prosesi penguburannya saja di kampung.
Dia tidak pernah takut membawa mayat, walaupun dia sendiri dan mayat itu saja dalam mobil. Dimana para sanak keluarga serta anak yang meninggal naik mobil khusus mengiringi dari belakang.
Minggu yang lalu ada seorang orangtua meninggal dunia di Medan. Selama ini orangtua ini tinggal di kampungnya, tetapi karena sakit lever yang dideritanya, opnamelah orangtuanya tersebut di Medan.
Dua bulan orangtua tersebut opname di rumah sakit. Pada saat awal opname ceritera Corona belum menjadi perhatian, kecuali di daratan Tiongkok sana.
Tetapi, Minggu yang lalu sang orangtua menghembuskan nafas terakhirnya. Ya.....karena penyakit lever akut dan usianya yang sudah tua. Dan semua anaknya sepakat orangtua tersebut akan dikuburkan di kampungnya. Dan kebetulan Firdaus inilah supir ambulance membawa mayat tersebut.
Dalam perjalanan, setiap batas Kabupaten ambulance ini pun harus diperiksa dan dicek surat jalannya dari Rumah Sakit. Dalam surat jalan diberitahu detail riwayat kematian serta mau dibawa kemana. Juga, setiap pos batas wilayah, ambulance bahagian luar dan dalam harus disemprotkan disinfektan. Juga Firdaus sang supir.
Ada beberapa pemeriksaan yang mereka lewati. Aman tidak ada masalah.
Persoalan justru setelah sang orangtua yang telah tenang di sisi Tuhannya itu tiba di kampungnya. Beberapa famili sudah menangisi mayat orangtua tersebut, bahkan si Supir pun sudah berharap mayat akan segera diturunkan dari ambulance, karena sudah lebih setelah jam di depan rumah orangtua itu.
Tapi entah siapa yang memulai, banyak masyarakat kampung menolak mayat tersebut.
Musyawarah pun dilakukan keluarga dengan masyarakat kampung yang menolak mayat teman sekampungnya itu. Pun dengan pihak keamanan dan dari pemerintahan.
Walaupun sudah lebih 1 jam musyawarah, keputusan mereka mayat harus dibawa kembali ke Medan atau kemana sajalah. Mayat itu tidak bisa dikubur di kampung itu.
Akhirnya dengan terpaksa mayat kembali ke Medan. Tapi mau dibawa kemana? Mau dikubur dimana?
Firdaus, menawarkan jasa, bahwa ada dia ketahui tempat orangtua ini bisa dikuburkan walaupun bukan di pekuburan resmi. Di daerah tanah garapan bekas PTP-2. Tapi......harus bayar sekian.
Sang orangtua pun dibawa kembali ke Medan dan tiba sudah malam hari di lahan yang bisa menerima mayat tadi.
Dengan uraian air mata yang tak hentinya dari semua anaknya, malam itu juga orangtuanya dikuburkan tanpa adat dan sakramen apapun sebagai seorang Kristen.
"Kasihan juga mereka" kata Firdaus mengenangnya.
"Apa kau tak kasihan pada dirimu Daus?. Bagaimana kalau mayat yang kau bawa karena Corona?" kataku menyelidik pikirannya.
"Cari makanku dari pekerjaan itulah, mau apalagi. Daripada mati kelaparan masih lebih baik mati karena Covid-19. Jelas kuburannya, jelas siapa menguburkan, dan semua biaya ditanggung negara" dengan enteng dia menjawab pertanyaanku.
Amang tahe, hansitna i ngolu saonari on. Sipata tung so adong be hasoan.
#palambokpusupusu
Copas: https://www.facebook.com/100024361903570/posts/660306638124727/